Siapakah Santri? Apa Sikapnya terhadap Kelompok Radikal?
Siapakah Santri?
Makna Santri, dari Sisi Linguistik dan Tipologi Sosial dan Politik Hingga Munculnya Kelompok Radikal.
Apa kaitan “santri” dengan “abangan”, “putihan”, “ormas Islam”, “partai Islam”, “NU”, “Muhammadiyah”, “nasionalis” “kelompok radikal”?
Silakan baca tulisan di bawah ini:
***
Apa arti “santri”? Banyak pemaknaan yang terberi. Ghalibnya “santri” terikat dengan “pesantren”, santri adalah pelajar yang mendalami agama Islam di Pesantren.
Dalam ranah ini dikenal juga dua jenis “santri”, siswa yang mukim di asrama pesantren disebut “santri mukim”, sementara siswa yang tidak mukim diibaratkan kelelawar yang datang untuk berburu buah, disebut “santri kalong”, santri ini datang ke pesantren dan kyai untuk berburu ilmu dan berkah.
Ada juga “santri” yang langsung berguru ke kyai (tanpa ke pesantrennya), biasanya kyai menggelar pengajian umum di pesantren atau di luar, “santri” di sini murid kyai. Dalam istilah Madura sering disebut “nyantre ka sera?” (nyantri ke kyai siapa?). Santri dalam konteks ini adalah yang mengaku murid atau pengikut seorang kyai.
Kesimpulannya makna “santri” dari penjelasan di atas adalah siswa di pesantren atau murid/pengikut kyai.
Pemahaman ini mirip dengan asal kata “santri” baik yang katanya dari (1) “cantrik” yang seseorang menjadi murid, asisten, pengikuti guru/resi. Relasi “santri” dan “kyai” memang seperti relasi “cantrik” dengan “guru/resi”.
Katanya juga “santri” berasal dari kata (2) “shastri”, artinya melek huruf, pelajar dan cendikiawan yang awalnya mendalami “shastra” (teks-teks suci agama). Demikian pula aktivitas “santri” di pesantren yang mendalami ilmu-ilmu agama.
“Santri” dalam Tipologi Sosial dan Budaya
Namun dari sisi sosial, makna “santri” juga berkembang, tidak lagi terkait dengan “kyai” dan “pesantren”, karena “santri” diartikan sebagai muslim yang taat pada syariat, yang sering dibedakan dengan istilah “abangan” yang juga muslim tapi longgar dalam ajaran syariat. Dalam konteks ini, “santri” adalah golongan “putihan” atau sebutan lainnya “kauman” yang dibedakan dengan golongan “abangan”.
Dari sisi kultural, “santri” menawarkan seni budaya alternatif, tetap ada proses “islamisasi” meski tidak menghancurkan budaya lokal. Wayang yang diisi pesan-pesan Islam, hingga dalam dalam taraf tertentu semakin kuat nuansa Arabnya dalam bentuk kasidah, hadrah dan gambus.
Sedangkan golongan “abangan” melanjutkan budaya lama tanpa merasa perlu memberikan alternatif dan nuansa baru, wayang dalam epos Hindu atau khas Jawa, tayub, jaipongan, gandrung, ronggeng dan lain-lainnya.
Level tertinggi golongan “santri” dalam masyarakat biasanya menjadi “haji” (kaji), taat shalat lima waktu, puasa ramadhan dan lain-lainya sedangkan abangan agak longgar.
Budaya “santri” dan “abangan” ini bersaing dalam pertarungan dominasi di masyarakat, misalnya antara “tayub” dengan “shalawatan dan istighotsah”. Namun baik golongan santri dan abangan disatukan dalam bentuk budaya yang lain, yakni, tahlilan, kenduri, selametan, haul.
Harmoni Budaya “Santri” dan “Abangan”
Muncul juga upaya harmoni antara dua golongan ini dengan sama-sama memberikan ruang. Contohnya dalam acara pernikahan, sunatan atau acara desa, biasanya pagi sampai sore adalah acara yang identik dengan budaya santri, khataman Al-Quran, Istighotsah, Shalawat, dan malam hari diisi dengan budaya abangan, wayang kulit, tayub, ronggeng, ludruk, hingga acara dangdut meski organ tunggal!
Dalam organisasi, santri juga sering dirujuk pada pengikut ormas-ormas Islam, baik NU, Muhammadiyah, Al-Wasliyah, Persis, NW dan lain-lain. Atau yang ikut sayap kepemudaan, perempuan dan pelajar dari Ormas-ormas Islam itu, Misalnya Muslimat, Fatayat, Ansor, PMII, IPNU di NU, Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah di Muhammadiyah dan lain-lainnya.
Sedangkan abangan meskipun mengaku muslim tidak mengikuti ormas-ormas Islam itu.
“Santri” dalam Tipologi Politik
Dalam tipologi politik, “politik santri” sering dikaitkan dengan “parpol Islam”, kalau dulu ada Masyumi dan Partai NU, sementara kaum abangan memilih PNI, PKI, Murba. Secara sederhana tipologi politik kaum abangan disebut “nasionalis” yang sebenarnya tidak tepat, karena santri juga nasionalis.
Di era Reformasi politik santri terwujud dalam parpol-parpol berideologi Islam Politik (PPP, PKS, PBB) atau Parpol dengan pemilih muslim (PKB, PAN). Sementara kaum abangan memilih parpol-parpol “nasionalis”.
Dari sisi politik, santri pernah memimpin negara ini walau hanya singkat, yakni saat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden RI, Oktober 1999. Dengan komposisi Gus Dur dari NU jadi presiden, Amien Rais dari Muhammadiyah jadi ketua MPR dan Akbar Tanjung dari HMI jadi ketua DPR. Sayangnya periode kepemimpinan santri ini sangat singkat, Gus Dur harus tersingkir.
Dalam konteks tipologi sosial dan politik “santri” telah berkembang sangat jauh maknanya, tidak lagi terikat dengan pesantren dan kyai, tapi makin lentur sehingga sering diidentikkan dengan kata Islam. Siapapun yang ikut ormas-ormas Islam, sayap perempuan, kepemudaan, buruh, pengusaha atau organisasi apapun yang menggunakan kata Islam, maka disebut santri.
Namun definisi ini terlalu umum yang nantinya akan terlihat bahwa “aspirasi santri” itu lebih khusus dari klem “aspirasi Islam”, karena istilah agenda politik Islam sekarang tercemari oleh gerakan-gerakan radikal yang mengingikan perubahan secara cepat–tidak bertahan seperti strategi santri–atau perubahan hingga dasar dan bentuk negara seperi Khilafah dan Negara Islam yang ditentang oleh kelompok santri.
Radikalisme Tantangan Kaum Santri dan Abangan.
Dengan munculnya wacana dan gerakan radikalisme dan terorisme, tipologi “santri” menjadi istilah yang membedakan dengan kompok radikal dan teroris yang sering mengaku paling Islam.
Saat ini ketegangan kaum “santri” dan “abangan” makin mencair, satu sisi karena ada strategi kebudayaan yang merukunkan dua budaya dengan contoh yang saya sebut di atas, pagi: khataman Al-Quran, malam hari: dangdutan, wayang kulit, atau juga seperti pengamatan Indonesianis asal Australia MC Ricklefs dalam “Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang” (Serambi, 2013) ditemukan kaum abangan kini makin santri.
Pun, baik budaya kaum santri dan abangan menjadi sasaran kelompok-kelompok radikal dan teroris. Baik budaya abangan dan santri sering dituduh oleh kelompok radikal sebagai “musyrik” “kafir” “bidah” “thagut”.
Baik santri dan abangan menerima dan mempertahankan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD ’45 (disingkat lebih mudah: PBNU) sedangkan kelompok-kelompok radikal berusaha menolaknya.
Dalam perbincangan antara saya dengan almukarram KH Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo, “santri pasti muslim dan Islam, tapi yang muslim belum tentu santri, yang membedakannya sikap penerimaan terhadap kearifan lokal dan pilar-pilar kenegaraan.”
Dalam sikap terhadap Perppu Ormas pun golongan santri menerimanya, sedangkan yang mengaku muslim/Islam tapi sebenarnya menyimpan agenda radikalisme, menolaknya.
Dalam konteks ini “santri” dan “radikal” berbeda, meskipun sama-sama muslim dan Islamnya.
Santri adalah muslim yang lahir dari bumi Indonesia, mencintai Indonesia dengan segala totalitasnya, sedangkan kelompok radikal adalah muslim yang merasa numpang lahir di Indonesia, dicangkok dengan ideologi dan politik radikal serta menjalankan agenda di luar kepentingan Republik Indonesia.
Mohamad Guntur Romli
Siapakah Santri? Makna Santri, dari Sisi Linguistik dan Tipologi Sosial dan Politik Hingga Munculnya Kelompok…
Posted by Mohamad Guntur Romli on Saturday, 21 October 2017
www.gunromli.com
facebook.com/GunRomli
twitter: @GunRomli
instagram: @GunRomli
Terkini
- Tiga Langkah Jenius Megawati Saat Pencapresan Ganjar Pranowo
- Memilih Ganjar Pranowo, Meneruskan Jokowi Membangun Indonesia
- Ayat Al-Quran yang Sering Dipakai oleh Teroris
- Mengapa Koalisi Anies Gagal Deklarasi Pencapresan?
- Halloween: Saudi Kebarat-baratan, Indonesia Kearab-araban
- Tahun 2024, Mereka Ingin Khilafah Berdiri di Indonesia
Categories
- Berita (110)
- Santuy (5)
- Siaran Pers (31)
- Tulisan (181)
- Video Cokro TV (15)


