Shalawat Nariyah, Hari Pahlawan, KHR As’ad Syamsul Arifin dan Gerbong Maut di Bondowoso

Baru selesai acara Shalawat Nariyah dan Peringatan Hari Pahlawan di Kecamatan Prajekan, Bondowoso, Minggu 12 November 2017. Saat diberi kesempatan untuk ceramah tadi saya mengulas kaitan Hari Pahlawan, 10 November 1945 dengan Hari Santri yang merupakan hari dikeluarkannya Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 oleh PBNU saat itu di bawah pimpinan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah dan para masyayikh yang lain.

Resolusi Jihad ini pula yang mendorong umat Islam di Jawa Timur, khususnya dan di Pulau Jawa secara umum berjuang dalam pertempuran akbar 10 November 1945 di Surabaya.

Setelah sebelumnya pada tanggal 11 September 1945 Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa individu yang dinamakan Fatwa Djihad yang isinya hampir sama dengan Resolusi Jihad.

Dalam fatwa yang merupakan jawaban kepada pertanyaan Bung Karno apa hukum bagi umat Islam membela dan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia? Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari menjawab tegas: wajib individual (wajib aini/kewajiban atas setiap orang), yang mati karena membelanya disebut syahid dan yang memecah belah persatuan wajib dibunuh.

Bahwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 merupakan fatwa jamai atau ijma’ para alim ulama saat itu bahwa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (yang bukan Negara Islam) bersifat wajib, dan bila mati dalam perjuangan ini disebut mati syahid.

Saya tadi juga mengulas lagu Syubbanul Wathan atau Ya Lal Wathan yang dikarang oleh KH Wahab Chasbullah yang merupakan lagu perjuangan dan cinta tanah air yang khas dari kaum santri dan umat Islam dalam bait حب الوطن من الايمان “cinta tanah air adalah bagian dari iman”. Dan lagu itu sangat kontekstual pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pasca Agustus 1945 saat pasukan Sekutu datang dan mau menjajah Indonesia kembali, yang kemudia ditentang oleh rakyat Indonesia yang digambarkan dalam lagu ini dalam larik كل من يأتيك يوما طامحا يلق حماما yang berarti “Siapa Datang Mengancammu Kan Binasa di bawah dulimu”

Lagu ini yang menggelorakan rakyat Indonesia melawan penjajah, khususnya menggambarkan perlawanan rakyat Indonesia saat pasukan penjajah datang kembali dan ingin menduduki Indonesia kembali.

Setelah menceritakan pra 10 November 1945, yakni Fatwa Djihad 11 September 1945 dan Resolusi Djihad 22 Oktober 1945, saya juga mengulas perjuangan tokoh pahlawan yang jasanya masih dirasakan secara abadi oleh Masyarakat Situbondo, Bondowoso dan sekitarnya, bahkan bagi Indonesia dan dunia Islam umumnya, yakni peran Syaikhona KHR As’ad Syamsul Arifin yang dianugerahi Pahlawan Nasional tahun 2016 meskipun sudah lama menjadi pahlawan bagi umat Islam.

Syaikhona KHR As’ad sangat berperan dalam momen-momen penting di Republik ini, peran beliau sangat sentral dalam pendirian NU, karena beliau lah yang membawa pesan dan restu dari Syaikhona Kholil, guru dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan pula dalam perjuangan melawan tentara Jepang.

Pada tahun 80-an, Syaikhona KHR As’ad Syamsul Arifin berperan dalam relasi agama dan Negara, khususnya NU dan Pemerintah Republik Indonesia saat itu, di Pesantren beliau, Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo Situbondo menjadi perhelatan penting NU, baik Munas dan Muktamar NU yang menegaskan kesetiaan NU pada Pancasila dan NKRI.

Pengaruh, kewibawaan dan peran Syaikhona KHR As’ad inilah menjadi rujukan dan dalil penting kewajiban kaum santri dan Umat Islam Indonesia terhadap tegaknya NKRI dan Pancasila. Kalau Indonesia saat ini terselamatkan dari rongrongan ideologi yang anti Pancasila merupakan jasa besar dan nyata dari Syaikhona KHR As’ad.

Dalam konteks lokal masyarakat Bondowoso saya juga mengajak hadirin mengingat Peristiwa Gerbong Maut yang juga terjadi pada bulan November 1947.

Pada 22 November 1947, para pejuang Indonesia yang ditangkap Belanda untuk Kawasan Keresidenan Besuki yang penjaranya berpusat di Bondowoso makin banyak, maka Belanda mau mengirimkan ratusan tahanan pejuang ini ke Surabaya. Tapi dalam proses pengiriman sengaja ingin dibunuh dalam perjalanan.

Pemindahan tahanan dilakukan dengan menggunakan kereta api. Setiap 1 gerbong baja diisi puluhan orang. Gerbong pertama GR5769 dan gerbong kedua GR4416 masih memiliki lubang ventilasi udara meskipun sangat kecil, namun gerbong ketiga GR10152 tidak ada sama sekali.

Belanda menutup rapat gerbong-gerbong kereta. Dalihnya alasan keamanan takut ketahuan gerilyawan yang akan bisa diserang kalau gerbong-gerbong itu sedang mengirimkan tawanan pejuang, namun sebenarnya Belanda ingin membunuh para pejuang.

Selama perjalanan ke Bondowoso dari Surabaya yang memakan waktu belasan jam, dalam ketiga gerbong kereta para pejuang seperti terpanggang dalam oven yang panasnya minta ampun, sekaligus kehausan dan kelaparan.

Para tahanan juga tak diberi makanan dan minuman selama perjalanan. Banyak tahanan pejuang mati lemas satu per satu.

Sesampainya di Surabaya puluhan pejuang tewas mati lemas tak mendapatkan makanan dan minuman, kepanasan, serta udara. Kondisi menggenaskan, banyak kulit terkelupas karena kepanasan karena terpanggang gerbong baja panas. Bahkan ada kulit-kulit yang lengket ke dinding gerbong baja panas.

Sedangkan yang selamat, meski dalam keadaan lemas dan lunglai dipaksa mengangkut mereka yang sudah tewas.

Inilah Peristiwa Gerbong Maut yang merupakan bukti kekejaman Belanda dan resiko yang harus ditanggung oleh para pejuang Republik Indonesia saat itu.

Untuk mengenang jasa para pahlawan, dibangung replika gerbong kereta api untuk monumen, yang diberi nama Monumen Gerbong Maut yang kini ada di Alun-Alun Kota Bondowoso.

Itulah jasa-jasa para Pahlawan yang hasilnya kita nikmati saat ini dalam kemerdekaan.

Selamat Hari Pahlawan. Al-Fatihah untuk Para Pahlawan.

Mohamad Guntur Romli

Shalawat Nariyah, Hari Pahlawan dan Gerbong Maut di BondowosoBaru selesai acara Shalawat Nariyah dan Peringatan Hari…

Posted by Mohamad Guntur Romli on Sunday, 12 November 2017