Karena Hoax lebih terkait kecerdasan emosional, bukan kecerdasan intelektual, IQ dan tingkat pendidikan.

Hoax Bukan Masalah IQ, tapi EQ!

Kecerdasan Intelektual (IQ, intelligence quotient) bukan faktor penting membuat dan memangsa hoax.

Setelah Jaringan MCA dibongkar, ternyata yg aktif dari dosen, PNS, Karyawan dll yg kalau dilihat dari IQnya tdk masalah.

Kita pun menyaksikan, hoax juga dimangsa bulat2 oleh kalangan yg kita sebut dgn “terdidik” & “perkotaan” yg umum budaya internet dan media sosial.

Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendirikan dan faktor IQ tidak membuat seseorang imun dari hoax. Bahkan, ada seorang yg dulunya pengajar filsafat menganggap hoax sah dipakai sebagai kritik!

Susunan isi hoax yg merupakan kebohongan, fitnah, dan kebencian tidak memperdulikan masalah-masalah IQ, logika, rasionalitas, sebab-akibat, dst tapi apakah hoax ini bisa MEMANCING EMOSI apa tidak.

Sasaran Hoax adalah emosi seseorang, makanya isi hoax umumnya terkait dengan hal-hal yg emosional bgi seseorang dan komunitas.

Umumnya hoax terkait SARA, karena SARA memancing emosi dan meneror psikis manusia. Selain SARA juga hal-hal yg terpendam dalam palung psikis manusia, seperti ketakutan, kesedihan, kemarahan yg dikaitkan dgn memori-memori menakutkan dan acaman-ancaman serta teror.

Maka menghadapi hoax yg sangat menentukan adalah kecerdasan emosional (EQ, emotional quotient) bukan IQ (kecerdasan intelektual).

Seseorang yg bisa dikatakan punya IQ tinggi tapi saat emosinya kena tembak, maka IQnya lansung rebah ia pun hanyut dalam pusaran emosi, yg membuatnya penuh ketakutan, histeria, gusar, marah, panik hingga kalap.

Di zaman hoax, emosi adalah kendali.

Mohamad Guntur Romli

#LawanHoax #LawanIntoleransi

Hoax Bukan Masalah IQ, tapi EQ! Kecerdasan Intelektual (IQ, intelligence quotient) bukan faktor penting membuat dan memangsa hoax. Setelah Jaringan MCA dibongkar, ternyata yg aktif dari dosen, PNS, Karyawan dll yg kalau dilihat dari IQnya tdk masalah. Kita pun menyaksikan, hoax juga dimangsa bulat2 oleh kalangan yg kita sebut dgn "terdidik" & "perkotaan" yg umum budaya internet dan media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendirikan dan faktor IQ tidak membuat seseorang imun dari hoax. Bahkan, ada seorang yg dulunya pengajar filsafat menganggap hoax sah dipakai sebagai kritik! Susunan isi hoax yg merupakan kebohongan, fitnah, dan kebencian tidak memperdulikan masalah-masalah IQ, logika, rasionalitas, sebab-akibat, dst tapi apakah hoax ini bisa MEMANCING EMOSI apa tidak. Sasaran Hoax adalah emosi seseorang, makanya isi hoax umumnya terkait dengan hal-hal yg emosional bgi seseorang dan komunitas. Umumnya hoax terkait SARA, karena SARA memancing emosi dan meneror psikis manusia. Selain SARA juga hal-hal yg terpendam dalam palung psikis manusia, seperti ketakutan, kesedihan, kemarahan yg dikaitkan dgn memori-memori menakutkan dan acaman-ancaman serta teror. Maka menghadapi hoax yg sangat menentukan adalah kecerdasan emosional (EQ, emotional quotient) bukan IQ (kecerdasan intelektual). Seseorang yg bisa dikatakan punya IQ tinggi tapi saat emosinya kena tembak, maka IQnya lansung rebah ia pun hanyut dalam pusaran emosi, yg membuatnya penuh ketakutan, histeria, gusar, marah, panik hingga kalap. Di zaman hoax, emosi adalah kendali. Mohamad Guntur Romli #LawanHoax #LawanIntoleransi

A post shared by Mohamad Guntur Romli (@gunromli) on