“Bahtera Ruh” dalam Filosofi Selamatan di Situbondo

Setiap undangan yang datang ke acara selamatan, haul, kenduri, tahlilan dll akan membawa pulang “oleh-oleh” bungkusan yang disebut dalam bahasa masyarakat Situbondo disebut “berkat”.

Kata “berkat” dari “barokah” varian yang lain dari “berkat” adalah “berkah”. Artinya anugrah, hadiah dan istilah sesuatu yang bisa berkembang biak. Misalnya makanan yang awalnya disediakan untuk 5 orang, ternyata cukup untuk 15 orang, ini yang disebut makanan itu penuh berkah.

Penampakan “berkat” ini ada “tata boga” secara khusus. Misalnya “berkat” untuk acara Haul. Ada bungkusan berbentuk “lémas” perahu dari daun pisang yang diselimuti janur kuning. Perahu daun pisang ini ada 2 “lantai”, persis sebuah bahtera.

“Lantai” atas, nasi, lauk-pauk, daging ayam panggang yang siap santap, sedangkan lantai dasarnya, seperti gudang pada sebuah kapal yang berisi beras dan uang. Ada pula benang dan jarum. Zaman dulu waktu belum ada listrik, “lémas” dilengkapi lampu teplok, karena ada perkembangan zaman, lampu teplok diganti dengan dop/lampu listrik/bohlam/lampu pijar.

“Lémas” atau perahu daun pisang dan janur kuning ini melambangkan “bahtera ruh” manusia yang mengarungi perjalanan di alam barzakh dengan segala bekalnya: makanan, beras, benang, jarum dan lampu.

Inilah “bekal” di alam barzakh: sandang, pangan dan penerangan.

Mengapa perlambangnya mengambil bahtera bahari? Karena masyarakat Situbondo merupakan daerah pesisir yang masyarakatnya melaut, atau meskipun sudah menjadi petani, leluhur masyarakat di sini dari seberang: pulau Madura yang melintasi laut dengan perahu agar sampai di tempat ini.

Dalam memandang hal-hal yang ghaib manusia sering menggunakan metode yang disebut dalam tradisi ilmu Kalam, “qiyasus ghaib alas syahid” (analogi alam ghaib dengan alam nyata). Tradisi “lémas” adalah analogi bekal di perjalanan alam barzakh dengan perjalanan di alam nampak (dunia). Misalnya juga gambaran kehidupan sorgawi yang ghaib merupakan analogi alias contoh penggambaran dari kehidupan duniawi yang tampak: kasur yang tersusun rapi, permadani yang tergelar, piala untuk minuman, bidadari yang cantik-molek.

Tapi yakinlah yang menyiapkan “lémas” ini tidak lagi memahami mereka yang sedang diperingati kematiannya dengan secara harafiah perbekalannya persis sama seperti perjalanan di dunia. Tapi kenapa “lémas” masih jadi tradisi?

Pertama, tradisi ini sebagai pengingat untuk mereka yang hidup agar menyiapkan bekal untuk kematian mereka (dzikrul maut).

Kedua, benda-benda yang ada di “lémas” dihadiahkan bagi yang hidup (karena yang mati tidam butuh benda-benda duniawi) tapi pahala dan doa dari yang hidup yang dikirimkan pada mereka yang sudah wafat. Keluarga yang wafat memperoleh pahala dengan menyumbangkan makanan dan perangkat ini, nah pahalanya mereka kirimkan untuk keluarganya yang sudah wafat.

Begilah tradisi Masyarakat Situbondo mengingatkan kematian bagi yang hidup, memperingati kematian dan mengirimkan pahala bagi yang sudah mati.

Inilah tradisi Islam Nusantara.

Allahummaghfirlahum warhamhum Al-fatihah ?

Mohamad Guntur Romli