Islam Nusantara: KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan dan Soekarno (3)
Islam Nusantara Antara Aliran “Tradisionalis” dan “Modernis”
Pada paroh awal abad ke-20 ada dua kelompok pemikiran dan gerakan Islam yang nantinya sering disebut “modernis” dan “tradisionalis”. Kubu “modernis” kelompok yang ingin melakukan perubahan terhadap aspek-aspek lokal dan tradisi, sedangkan kubu kedua yang ingin mempertahankan kesinambungan (kontiuitas) dengan tradisi dan budaya lokal.
Kubu pertama terwakili oleh organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1913), Persatuan Islam (1923), kubu ini menentang ritual-ritual seperti tahlil, selamatan, sesaji, ziarah kubur wali, tabarruk (ngalap berkah), tawassul (melalui perantara) yang dianggap syirik, bid’ah dan khurafat, serta menolak madzhab fiqih dan menginginkan merujuk langsung pada Al-Quran dan Hadits.
Semua hal yang diserang oleh kelompok “modernis” dijalankan oleh kelompok “tradisionalis” (dan juga “abangan”). Merasa menjadi sasaran, sekaligus kemunculan kekuatan Wahhabi di Makkah dan Madinah, kubu “tradisionalis” membangun organisasi Nahdlatul Ulama (1926) yang berasal dari jaringan pesantren-pesantren yang saat itu dominan di Jawa.
Persaingan dua kubu ini seperti mengulangi sejarah persaingan dua kubu pada abad-abad sebelumnya, yakni persaingan “neo-sufisme” (sintesis tasawwuf-syariat-hadits) terhadap kalangan “sintesis mistik” (sintesis kepercayaan lokal-tasawwuf “falsafi”, “panteistik”) pada abad ke-17. (Baca tulisan saya: Corak-corak Islam Nusantara: Dari Wali Sanga Sampai Gus Dur).
Apabila pada abad-abad sebelumnya “neo-sufistik” bisa mengambil alih kendali aliran keislaman dari kubu “sintesis mistik” dengan berdirinya pesantren-pesantren dan diajarkannya kitab-kitab kuning yang sesuai dengan doktrin aliran “neo sufisme” ini, namun pada era ini kalangan “modernis” (yang bisa disebut “neo-salafi”) mendapatkan perlawanan yang tangguh dari kalangan “tradisionalis” (“neo-sufistik”).
Aliran “modernis” (neo-salafi) tidak mampu menggeser peran kubu “tradisionalis” seperti halnya kubu “neo-sufisme” menggeser “sintesis mistik”, karena kubu “tradisionalis” telah memiliki basis sosial dan jaringan keilmuan serta sudah mengakar kuat dalam masyarakat.
“Tauhid Sosial” KH Ahmad Dahlan dari “Modernis”
Meskipun kalangan “modernis” bisa dipandang kurang toleran dan kurang mengapresiasi budaya lokal, namun gerakan ini tidak kalah penting dalam proses gerakan dakwah Islam di Indonesia. Ajaran Kiai Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah menekankan pada aspek kepedulian sosial yang terwujud dalam pendidikan, kesehatan dan penyantunan orang miskin (membuat panti asuhan anak yatim).
Gerakan ini terinspirasi dari surat Al-Maa’un, bahwa pendusta agama adalah mereka yang menelantarkan anak yatim dan tidak memberi bantuan pada orang miskin. Ajaran ini dikenal nantinya sebagai “Tauhid Sosial”.
Keberagamaan model ini juga simpel, egaliter dan mementingkan kemajuaan dan modernitas, sehingga memperoleh pengikut yang lumayan.
Di pihak seberang, kelompok “tradisionalis” ingin merespon terhadap kalangan “modernis” agar bisa menghormati dan toleran pada keyakinan dan ritual yang diamalkan oleh kalangan “tradisionalis”.
Serangan-serangan kubu “modernis” memang salah sasaran karena menganggap ritual-ritual kubu “tradisionalis” bertentangan dengan dasar-dasar ajaran Islam, padahal kubu “tradisionalis” ini penjelmaan dari kubu “neo-sufisme” yang telah melakukan “pemurnian” terhadap pemikiran, praktek dan aliran keislaman apabila dibandingkan dengan aliran “sistesis mistik”.
Pembaruan dari Kalangan “Tradisionalis”
Pada dasarnya kalangan “tradisionalis” tidak anti pembaruan. Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari (Rois Akbar NU pertama) telah melakukan inovasi sejak tahun 1929, seorang kiai muda berpendidikan Belanda, Kiai Moh. Ilyas diangkat menjadi direktur madrasah dan ia memasukkan mata pelajaran umum seperti berhitung, sejarah, ilmu bumi, abjad latin dalam kurikulumnya (Aboebakar 1957: 85).
KH Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri NU adalah sosok yang dikenal modern dan dinamis. Sejak mukim di Makkah, Kiai Wahab aktif di Sarekat Islam (ormas politik yang sering disebut “modernis”), bekerjasama dengan tokoh nasionalis Soetomo (pendiri Boedi Oetomo, 1908) dalam kelompok studi, Islam Studie Club. Pada tahun 1916, Kiai Wahab mendirikan madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menunjukkan patriotisme dan kebangsaan dari semangat keislaman. Tahun 1918 Kiai Wahab membentuk Nadhatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Pedagang) dalam bentuk koperasi pedagang. Madrasah baru bernama Tashwirul Afkar didirikan tahun 1919 untuk menyediakan tempat bagi pelatihan anak-anak muda belajar dan mengaji sebagai “sayap” untuk membela kepentingan kalangan “tradisionalis”. Dan slogan “hubbul Wathan minal iman” (cinta tanah air bagian dari iman) merupakan doktrin utama bagi kebangkitan nasionalisme modern di Indonesia.
Persaingan kubu “modernis” dan “tradisionalis” meruncing dalam sidang-sidang Kongres Al-Islam sejak tahun 1922, 1926. Akhirnya untuk membela hak kebebasan meyakini ajaran agama, menuntut toleransi dari pihak yang menyerang baik dari kalangan “modernis” di Tanah Air dan Kekuatan Saudi-Wahhabi yang menguasai Haramayn (Makkah dan Madinah) yang mulai melarang ritual-ritual kalangan tradisional, melarang tarekat, menghancurkan kuburan para sahabat dan lain-lain sebagainya, kalangan “tradisionalis” mendirikan Nahdlatul Ulama, 31 Januari 1926.
Namun persaingan ini tidak menutup adanya persatuan dengan masih adanya kekuatan penjajah Belanda waktu itu. Saat pemerintah Kolonial Belanda mencampuri urusan Islam, misalnya dengan menarik warisan dari Pengadilan Agama tahun 1931 dan diberlakukannya hukum Adat, NU termasuk yang protes keras. Kesewenang-wenangan ini membuat Kiai Hasyim pendiri NU, tahun 1935 mengajak persatuan umat Islam, khususnya kepada kalangan yang menyebut sebagai “pembaharu”.
KH Hasyim Asy’ari menulis:
“Wahai ulama-ulama! Kalau kamu lihat orang berbuat suatu amalan berdasar kepada qaul (pendapat) imama-imam yang boleh ditaqlidi (diikuti), meskipun qaul itu marjuh (tidak kuat alasannya) jika kamu tidak setuju, jangan kamu cerca mereka, tetapi berilah petunjuk dengan halus! Dan jika mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah mereka dimusuhi. Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang membangun sebuah istana dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota.”
Seruan ini tidak hanya ajakan untuk bersatu, namun sekali lagi penegasan untuk saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing, serta menghindari efek-efek negatif seperti metafora yang digunakan Kiai Hasyim “membangun istana dengan menghancurkan sebuah kota”. Kubu “modernis” dan “tradisionalis” bersatu dalam konfederasi MIAI (Majlis Islam A’laa Indonesia) tahun 1937.
Pada tahun 1943 MIAI dibubarkan Jepang dan diganti dengan Masyumi (Madjlis Syuro Muslimin Indonesia) yang menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Hanya NU dan Muhammadiyah yang diakui secara sah oleh penjajah dan diperbolehkan menjadi anggota Masyumi, mereka memimpinnya bersama-sama.
Pada Agustus 1944 Kiai Hasyim Asy’ari ditunjuk sebagai Ketua Shumubu, Kantor Urusan Agama buatan Jepang. Tahun itu juga Kiai Wahid Hasyim putra Kiai Hasyim berhasil membujuk Jepang memberikan latihan militer khusus santri dan mengizinkan mereka membentuk barisan pertahanan sendiri: Hizbullah dan Sabilillah.
Islam Bung Karno sebagai “Sintesis” dari Aliran “Tradisionalis” dan “Modernis”
Di antara persaingan kubu “tradisonalis” dan “modernis” yang saat itu mempermasalahkan soal-soal seperti wajibkan niat ushalli dalam shalat, ziarah kubur, tahlil, tabarruk (ngalap berkah), sesajen, pandangan-pandangan keislaman Bung Karno bisa dilihat sebagai “sintesis” dari dua kubu ini.
Bung Karno berasal dari kalangan “abangan”, ayahnya penganut theosofi. Ide-ide Bung Karno berpusat pada soal-soal kebangsaan, namun dari sisi pendidikan dan lingkungan Bung Karno bisa dikaitkan dengan kalangan “modernis”, apalagi ia mengaku sebagai anggota Muhammadiyah.
Dalam periode ini, Bung Karno seakan-akan ingin mengajak dua kubu baik “tradisionalis” dan “modernis” ini untuk memikirkan kembali Islam dalam konteks yang lebih luas: kebangsaan, kemajuan dan masa depan sebuah bangsa, bukan masalah-masalah khilafiyah yang artifisial saja.
Dalam pembuangan di Ende, Flores (1934-1938), Bung Karno menunjukkan minatnya mempelajari Islam, dalam surat-surat yang ia kirim ke A Hassan, pendiri Persatuan Islam, yang sangat mencurigai ide kebangsaan. Bung Karno menuangkan ide-idenya tentang Islam, yang ia lanjutkan dalam tulisan-tulisan baik di Suluh Indonesia Muda, Pemandangan, Pandji Islam, Pedoman.
Bung Karno melancarkan kritik baik kepada kubu “modernis” dan “tradisionalis” sekaligus. Menurut Bung Karno, di Indonesia benar ada Kaum Muda seperti Muhammadiyah dan Persis tetapi seruan rasionalisme tidak sering ditekankan. Maka kritik Bung Karno ini menyangsikan kubu yang sering disebut “modernis” itu benar-benar modern, karena tidak adanya rasionalisme dalam pemikiran mereka.
Bung Karno menulis:
“Perbedaan antara kaum muda dan kaum tua di sini hanyalah, bahwa kaum tua menerima tiap-tiap keterangan dari tiap-tiap otoritas Islam, walaupun tidak tersokong oleh dalil Quran dan Hadis, sedang kaum muda hanyalah mau mengakui sah sesuatu hukum, kalau ternyata tersokong oleh Quran dan Hadis….tetapi interpretasi Quran dan Hadis itu, cara menerangkannya…belumlah rasionalistis 100%, belumlah selamanya dengan bantuan akal 100%…mereka tidak selamanya mengakurkan pengertiannya itu dengan akal yang cerdas, tetapi masih mengasih jalan kepada percaya buta belaka…Asal tertulis dalam Quran, asal tertera di dalam Hadis yang sahih, mereka terimalah walaupun kadang-kadang akal mereka tak menerimanya.”
Demikianlah kritik Bung Karno, baik yang “tradisionalis” (kaum tua) dan “modernis” (kaum muda) masih “percaya buta belaka” dan tidak menggunakan rasio dan akal yang cerdas.
Dalam tulisan-tulisan itu, beberapa pesan keislaman Bung Karno yang patut dicermati:
1. Islam sebagai elan persatuan nasional dalam tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (Suluh Indonesia Muda, 1926).
2. Islam yang menekankan rasionalitas, sains (ilmu pengetahuan) dan penyelidikan, dan menolak percaya buta (taklid). “Orang tak dapat memahami betul Quran dan Hadis kalau tak berpengatahuan umum…bagaimana orang bisa mengerti betul firman Tuhan segala barang sesuatu dibikin oleh-Nya “berjodo-jodoan” kalau tak mengetahui biologi, tau mengetahui elektron, tak mengetahui positif, negatif….” Bung Karno menyebut ilmu biologi, arkeologi, astronomi, sejarah.
3. Islam yang menekankan kemajuan dalam artikel yang ia tulis: “Islam is progress,–Islam itu kemajuan…kemajuan karena fardlu (wajib)…karena sunah, tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang lebarnya melampui batas-batasnya zaman” Islam untuk kemajuan yang menekankan pada aspek kebolehan (mubah, jaiz) yang bisa melampui zaman, bukan untuk melarang-larang dan mengharamkan.
4. Islam yang mengakui agama-agama yang lain dan pentingnya toleransi dan demokrasi. Pemaksaan suatu negara Islam menurutnya bertentangan dengan demokrasi dan dunia modern dan merupakan bentuk kediktatoran, “kalau mereka tidak terima konstitusi Islam, apakah mau paksa mereka, dengan menghantam Tuan punya tinju di atas meja, bahwa mereka mesti ditundukkan kepada kemauan Tuan itu? Ai, Tuan mau main diktator, mau paksa mereka dengan senjata bedil dan meriam?…zaman sekarang zaman moderen, dan bukan zaman basmi-basmian secara dulu”.
5. Islam yang mengakui persamaan dan kemuliaan manusia “…Tidak ada satu agama yang menghendaki kesamarataan daripada Islam” Bung Karno menolak pembedaan manusia berdasarkan keturunan, seperti sayyid yang merupakan bentuk feodalisme yang merupakan penjajahan manusia terhadap manusia yang lain. Dia juga menolak fasisme dan rasialisme seperti yang dilakukan Hitler di Jerman. Bung Karno menentang kalau ada larangan transfusi darah berdasarkan perbedaan agama dengan alasan non-muslim “najis”: “benarkah Quran ada mengatakan begitu, tetapi najis apanya? Najis tubuhnya kah? Najis darahnya kah? Tidak!..najis pahamnya…dan tentang darah yang mengalir di dalam tubuh mereka darah itu tidak najis, tidak kotor..”
6. Menekankan pada subtansi ajaran Islam “ruh dan semangat Islam, api Islam” bukan pada aspek-aspek simbolnya yang ia sebut sebagai “agama celak” dan “agama sorban” atau “abu Islam”.
7. Islam yang lentur, luwes, memudahkan dan cocok dengan kemajuan. “Hukum yang jempol haruslah seperti karet, dan kekaretan ini adalah teristimewa sekali pada hukum-hukum Islam…itu bisa cocok dengan semua kemajuan.”
8. Islam yang membebaskan dan anti penindasan. Bung Karno menentang tabir yang menutupi perempuan dalam pertemuan, karena bagi dia “tabir adalah lambang perbudakan kaum perempuam” dalam wawancara ia menegaskan “saya anggap tabir sebagai simbol-simbolnya perbudakan perempuan, keyakinan saya ialah Islam tidak mewajibkan tabir itu. Islam memang tidak mau memperbudakkan perempuan.”
9. Islam yang mengakui perbedaan dua otoritas, agama dan politik. Dalam membedakan dua otoritas ini Bung Karno menulis tentang Mustafa Kemal Attaturk di Turki, “Bagi kita agama Islam adalah urusan kita sendiri dan bukan urusan pemerintah”, “manakala agama dipakai untuk memerintah, ia selalu dipakai alat penghukum di tangannya raja-raja, orang-orang zalim dan orang-orang tangan besi.”
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pengesahan UUD 1945 18 Agustus 1945 merupakan persatuan antara kalangan yang disebut “putihan/santri” baik yang “modernis” atau yang “tradisionalis” dengan kalangan “abangan” dari kubu “nasionalis”.
Ketegangan ini mereda setelah terlibat polemik soal dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta selama Juni-Juli 1945. Atas nama persatuan, kebangsaan, dan kemerdekaan dari penjajahan, polarisasi sosial dan politik ini bisa diredam, namun tidak benar-benar hilang, yang nantinya semakin meruncing pada Pemberontakan PKI 1948 dan benar-benar pecah dan konflik saudara, antara “abangan” dan “putihan/santri” pada Tragedi 1965-1966.
Polarisasi ini meneguhkan identitas dan tradisi masing-masing. Misalnya golongan “abangan” identik dengan kesenian rakyat dan lokal (tayub, ludruk, jaranan, wayang, nyadran) sementara kalangan “santri” dengan kesenian yang “bernafaskan ajaran Islam”, shalawatan, barzanji, kasidahan, gambus, terbangan.
(Bersambung)
Mohamad Guntur Romli
Tags In



Terkini
- Memilih Ganjar Pranowo, Meneruskan Jokowi Membangun Indonesia
- Ayat Al-Quran yang Sering Dipakai oleh Teroris
- Mengapa Koalisi Anies Gagal Deklarasi Pencapresan?
- Halloween: Saudi Kebarat-baratan, Indonesia Kearab-araban
- Tahun 2024, Mereka Ingin Khilafah Berdiri di Indonesia
- Hidupkan Soekarno, Keberanian Politik Perdamaian Jokowi untuk Rusia-Ukraina
Categories
- Berita (110)
- Santuy (5)
- Siaran Pers (31)
- Tulisan (180)
- Video Cokro TV (15)