TGB dan Politik Dinasti Demokrat SBY
TGB dan Politik Dinasti Demokrat SBY
Tak ada sosok yang menyita perhatian publik di pekan-pekan ini kecuali Dr. KH. Zainul Majdi, MA yang biasa disapa dengan TGB (Tuan Guru Bajang). Panggilan TGB adalah sapaan kehormatan yang mengingatkan pada kakeknya, KH Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang biasa disebut Tuan Guru Pancor, Pendiri Nahdlatul Wathan (NW) di NTB, seorang Pahlawan Nasional.
Pernyataan TGB menjadi viral karena mendukung Jokowi untuk melanjutkan periode kedua, padahal sebelumnya TGB disebut sebagai capres alternatif selain Jokowi yang digadang-gadang oleh Kelompok lawan Jokowi, kelompok 212 dan lain-lainnya. Padahal saya tak pernah mendengar TGB mengeluarkan pernyataan yang anti Jokowi, apalagi memusuhinya. Saya kira kelompok 212 yang ke-GR-an menahbiskan TGB sebagai capres alternatif mereka, meskipun sebenarnya mereka lebih memilih Prabowo sebagai Capresnya.
Sayangnya lagi kelompok ini yang sebelumnya memuja-muji TGB kini mencaci makinya karena pernyataannya yang mendukung Jokowi, padahal sebelum ini mereka mengaku memuliakan TGB sebagai seorang ulama. Kini terbukti terbongkar ucapan mereka basa-basi belaka alias gombal alias serbet rusak, mereka tidak pernah memuliakan TGB sebagai ulama tapi hanya sebagai alat politik mereka untuk menghantam Jokowi saja. Kalau benar mereka memuliakan dan mencintai TGB maka pilihan politik bukan lah menjadi alasan untuk membenci.
Syair Arab pernah menegaskan bahwa salah satu bukti cinta itu benar apabila yang mencintai selalu menaati yang ia cintai:
لو كان حبك صادقا لأطعتـه إن المحب لمن يحب مطيـع
Kalau cintamu benar, maka kau akan menaatinya, karena pencinta akan menuruti orang yang dicintainya.
Kini sudah terungkap ternyata gerombolan ini yang mengaku memuliakan dan mencintai TGB hanya gombal belaka. Alhamdulillah Allah Swt mengungkap sebenarnya yang mengaku pengikut TGB ini. Jangan sampai terjadi seperti Kelompok Khawarij yang mengaku mencintai Sayyidina Ali bin Abi Thalib tapi karena kecewa sampai membunuhnya.
Namun kalau mau dibaca secara seksama, TGB selain ulama adalah tokoh publik, tokoh politik, tokoh pemerintahan, seorang politisi, ia telah menjabat sebagai Gubernur NTB selama 2 periode. TGB adalah tokoh parpol Demokrat yang seharusnya diberi kesempatan untuk naik ke tingkat nasional dengan Demokrat sebagai kendaraan politiknya, tapi praktik dinasti politik di Demokrat yang kini terjadi mengacaukan proses ini.
Saya adalah Pemilih SBY selama 2 periode: 2004 dan 2009 yang selalu berharap SBY menjadi negarawan dan seperti pengakuannya menjadikan Demokrat sebagai parpol modern, tapi belakangan yang terjadi justeru bertolak belakang.
Setelah SBY semestinya ada tokoh-tokoh yang muda dari Demokrat yang diorbitkan. Dulu diharapkan dari Anas Urbaningrum, tapi sejak konflik politik dengan SBY kemudian tersandung kasus korupsi, regenerasi Demokrat macet. Tahun 2014 sebenarnya ada tokoh potensial yang mendaftar Konvensi Demokrat Dahlan Iskan, tapi SBY pun tidak memberikannya kesempatan. Meksipun nilai dan hasil Dahlan Iskan bagus di Konvensi Demokrat dan peroleh suara Demokrat tahun 2009 bisa mencalonkan Capres untuk 2014, tapi tiket untuk Dahlan Iskan dibiarkan hangus oleh SBY.
Ada banyak kader-kader muda dan potensial di Demokrat yang bisa dibranding tapi ternyata SBY lebih memilih anaknya AHY yang kemudian mundur dari militer untuk melanjutkan Dinasti SBY di Demokrat melalui Pilkada DKI 2017. Kini, untuk Capres dan Cawapres 2019, SBY dan Demokrat fokus ke AHY, kader-kader muda potensial di Demokrat pun hanya bisa jadi “cheerleaders” alias tukang sorak-sorak bergembira.
Semestinya TGB yang diberi kesempatan oleh SBY dan Demokrat. Apa kurang dari TGB? Secara kualitas personal dan akademik dia lulusan S3 Universitas Al-Azhar Cairo Mesir, secara modal sosial dia tokoh Nahdlatul Wathan salah satu kelompok muslim moderat terbesar di Indonesia. TGB juga Gubernur NTB dua periode. Jasa TGB pada Demokrat juga besar karena mendulang suara untuk pemilih Demokrat di NTB yang sebelumnya tidak pernah menjadi basis Demokrat.
Tapi praktik dinasti politik di Demokrat yang mengaku sebelum ini sebagai parpol yang modern dan percaya pada kompetensi dan kompetisi yang fair telah meminggirkan kader-kader muda potensial seperti TGB ini.
Pada akhirnya pilihan politik TGB menegaskan karakter dan kualitasnya, dia hanya punya dua pilihan, menunjukkan sebagai pemimpin yang independen, memilih sesuai nuraninya, menunjukkan kualitas dan kepemimpinannya atau ia hanya akan terjebak menjadi “pemandu sorak AHY di Demokrat”.
Dan TGB memilih menjadi seorang pemimpin! Selamat Ya Syaikhana Ad-Duktur Zainul Majdi athalallahu umraka wa matta’aka bis-shihhah wal afiyah.
Mohamad Guntur Romli



Terkini
- Tiga Langkah Jenius Megawati Saat Pencapresan Ganjar Pranowo
- Memilih Ganjar Pranowo, Meneruskan Jokowi Membangun Indonesia
- Ayat Al-Quran yang Sering Dipakai oleh Teroris
- Mengapa Koalisi Anies Gagal Deklarasi Pencapresan?
- Halloween: Saudi Kebarat-baratan, Indonesia Kearab-araban
- Tahun 2024, Mereka Ingin Khilafah Berdiri di Indonesia
Categories
- Berita (110)
- Santuy (5)
- Siaran Pers (31)
- Tulisan (181)
- Video Cokro TV (15)