Korupsi di Legislatif (DPR/DPRD) Bagaimana Cara PSI Mengatasinya?

Menurut Data KPK sebanyak 61 anggota DPR dan DPRD telah menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang Januari-Mei 2018. Menurut catatan lengkap sejak 2004, anggota DPR dan DPRD yang terlibat kasus korupsi telah mencapai 205 orang atau 24% dari total 856 orang. (Katadata/5 September 2018).

Informasi terbaru dari total 45 anggota DPRD Kota Malang, 41 orang telah tertangkap KPK. Mungkin akan menyusul “korupsi berjamaah” dari DPRD Jambi, berdasarkan berita “Semua Anggota DPRD Jambi Terima Uang” (Kompas, 7 September 2018). Tahun 2016 “BPK Temukan Kunker Fiktif Anggota DPR, Potensi Kerugian Negara Rp 945 M” (Detik/12 Mei 2016).

Fakta-fakta ini menunjukkan lembaga legislatif (DPR/DPRD) masih menjadi “sarang korupsi”.

Apa yang ditawarkan oleh PSI (Partai Solidaritas Indonesia) mengatasi korupsi di lembaga legislatif ini?

Apa yang saya tulis di sini berdasarkan kajian serius dr Tim Caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bagaimana memberantas budaya korupsi di DPR/DPRD dengan membangun sistem anti korupsi yg kuat, kami bikin “Buku Panduan”nya yang kami sebut program “Bersih-bersih DPR”.

Salah satu “pelumas” korupsi di DPR/DPRD adalah pemborosan uang rakyat dan tidak ada pertanggung jawaban penggunaan duit rakyat. Praktek ini akan bikin “ketagihan” untuk melakukan tindakan yang lebih jauh: korupsi, alias nyolong karena mereka merasa tidak diawasi dan sistemnya lemah.

Terjadinya praktek memanipulasi uang rakyat dalam berbagai bentuk di DPR/DPRD. Dugaan yang jadi “rahasia publik” mulai dari memanipulasi biaya perjalanan, biaya kunjungan kerja, biaya studi banding, dan biaya reses. Ini sistemnya menang lemah, ada bolong untuk dicolong! Anggota DPR/DPRD tergoda untuk korupsi!

Ibarat belajar muncuri, dimulai dari hal-hal kecil, karena mencuri merasa aman dari hal-hal kecil, maka pastilah berlanjut ke hal-hal besar. Sudah lumrah banyak tokoh mafia yang dimulai dari pencopet jalanan, atau preman jalanan kemudian jadi bos. Demikian pula dengan koruptor!

Merasa aman manipulasi biaya perjalanan, biaya kunjungan kerja, biaya studi banding, dan biaya reses, lanjut ke hal besar: manipulasi anggaran, terima suap untuk kebijakan dst, inilah perjalanan seorang koruptor!

Sistem yang berlaku di DPR/DPRD memang terbuka kemungkinan unt melakukan manipulasi, karena anggota DPR/DPRD memperoleh dana perjalanan dalam bentuk “lumpsum” bukan berdasar biaya riil (at cost), sederhananya DPR/DPRD sudah dibayar sebelum kerja, bukan dibayar berdasarkan kerja! Mereka sudah dibayar “gelondongan” saat mengajukan rencana kerja, apakah nanti benar-benar bekerja, atau bagaimana kualitasnya sudah tidak lagi jadi fokus.

Nah, sistem ini merupakan warisan Orde Baru yang korup, berdasarkan PP 61/90 yang menyatakan pada intinya: anggota DPR hanya wajib melaporkan penerimaan dana tanpa harus melaporkan riil penggunaannya.

Selama PP 61/90 terus ada dan tidak disesuaikan untuk mengakomodasi sistem “reimbursement” dan biaya at cost, maka para anggota DPR akan terdorong untuk memperbanyak kunjungan kerja demi keuntungan pribadi. Intinya ini sistem lemah banget unt cegah korupsi!

Nah, berikut beberapa modus manipulasi terkait biaya perjalanan. Pokok masalah memang di sistem yang lemah, di peraturan yang membuka manipulasi: PP No 61 tahun 1990, harusnya berdasarkan PMK No 13/2012 perjalanan dinas berdasarkan “at cost” (biaya riil), tapi DPR bisa ngeles dengan mengatakan Peraturan Pemerintah (PP) di atas PMK (Peraturan Menteri Keuangan).

Modus manipulasi lain di DPR adalah kunker fiktif, tidak transparan. Tahun 2016 “BPK Temukan Kunker Fiktif Anggota DPR, Potensi Kerugian Negara Rp 945 M”. Lagi-lagi ini kelemahan sistem pencegahan korupsi di DPR

Dalam buku panduan bersih-bersih DPR oleh Caleg PSI masa reses, kunjungan dapil yang tidak transparan menjadi fokus modus manipulasi dan lagi-lagi dana yang diberikan “gelondongan” lump-sum bukan at-cost.

Modus lain bagaimana anggota DPR menyiasati tambahan pemasukan ekstra melalui alat-alat kelengkapan di DPR mereka menerima “multipay” bukan “singlepay” ini modus mengada-ada untuk nambah penghasilan, padahal sudah ada gaji + tunjangan tapi dibikin  segala cara untuk nambah pemasukan.

Sistem “multipay” bukan “single pay” ini mengundang budaya korupsi, saya ingat bagaimana Jokowi-Ahok memberantas budaya korupsi di birokrasi DKI dengan mengubah sistem penggajian, sebelumnya selain gaji, birokrasi DKI juga mengakali dengan uang-uang rapat, perjalanan dinas, jabatan tertentu dalam birokrasi (birokrasi dalam birokrasi) yang kemudian diubah oleh Jokowi-Ahok berbasis kinerja.

Dalam sistem penggajian birokrasi di DKI dikenal sistem Tunjangan Kinerja, ada yang bersifat statis dan dinamis. Yang statis berbasis kehadiran (absensi), sementara yang dinamis berdasarkan kerja dan prestasi, plus gaji pokok dan tunjangan. Semuanya single pay, bisa diaudit, terukur.

Modus lain yang dicermati dalam Buku Panduan Bersih-Bersih DPR Caleg PSI adalah konflik kepentingan anggota DPR yang terlibat dalam Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) sehingga anggota DPR terlibat dalam proses pengadaan barang (baik dengan menambil komisi/suap dari vendor penyedia barang/jasa).

Karena sistem anti korupsi di DPR/DPRD lemah yang memungkinkan memanipulasi biaya perjalanan dinas, reses, keterlibatan dalam alat-alat kelengkapan dan BURT, maka tergoda untuk melakukan kejahatan yang lebih besar: aliran “dana siluman”. Ini suap/korupsi paling umum di DPR!

Banyak kasus anggora DPR jadi pesakitan KPK karena mereka menerima suap yang terkait dgn kewenangan mereka baik dalam proses pembuatan UU (legislasi), penganggaran dan pengawasan serta dugaan dlm proses fit and proper test. Ini modus umum korupsi anggota DPR!

Seperti yang saya katakan: pencuri kelas kakap banyak dimulai dari pencuri kelas teri, dari pencopet jalanan, demikian pula koruptor besar yang dimulai dari kebiasaan menilep biaya dinas, reses dll, nah sistem yang lemah ini harus diperbaiki di DPR untuk melawan korupsi!

Dalam sistem demokrasi dan politik yang kita anut, DPR dan Parpol adalah lembaga dan organisasi terpenting, bisa menjadi segala sumber kebaikan sekaligus keburukan, penentu arah kebijakan dan masa depan negara. Makanya kita peduli DPR dan Parpol yg berjuang melawan korupsi agar negara ini bersih dari korupsi.

Apa solusi yang ditawarkan oleh PSI membangun sistem yg kuat yang anti korupsi di DPR/DPRD? Apa solusi bersih-bersih DPR dari PSI? Berikut tawaran kami;

1. Mendesak pemerintah merevisi PP No 61/90 sehingga isinya sejalan dengan isi PMK 113/2012 yaitu pertanggungjawaban biaya perjalanan harus berdasarkan biaya riil (at cost). 

2. Mengupayakan terbangunnya mekanisme yang mewajibkan anggota DPR melaporkan secara langsung dan kemudian membuat laporan pertanggungjawaban reses dan kunker yang harus disampaikan kepada publik secara online. Kalau PSI akan membuat aplikasi sepeti ojek online sebagai bagian laporan dan pertanggung jawaban serta partisipasi publik untuk menilai, baik memberikan rating dan masukan.

3. Mengupayakan sistem penggajian anggota DPR diubah menjadi ‘SINGLE PAY’, bukan’ MULTI PAY’. 

4. Mengupayakan agar anggota DPR melepaskan fungsi teknis seperti BURT kepada Sekretariat Jenderal. 

5. Mendorong transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran oleh DPR, secara online.

Inilah iktikad dan ikhtiar PSI memberantas korupsi di lembaga legislatif.

Lembaga Legislatif (DPR/DPRD) adalah wakil rakyat, yang sewajibnya memperjuangkan aspirasi rakyat. Inilah jantung demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sudah kewajiban mereka memperjuangkan aspirasi rakyat dalam tugas pokok mereka, menetapkan kebijakan yg pro rakyat (legislate), menerapkan anggaran yang pro rakyat (budgeting) dan melakukan pengawasan kerja-kerja eksekutif agar benar-benar berpihak untuk rakyat (controling).

Sebagai ikhtiar awal, menurut data dari Bawaslu 2018, dibandingkan dengan parpol-parpol lain, PSI NOL alias tidak ada seorang pun Caleg yang diajukan berasal dari eks napi korupsi. Sedangkan parpol-parpol lain (termasuk juga ada parpol baru) yang mengajukan eks napi korupsi.

Sebagai penutup saya ingin menjawab adanya  komentar yang  meragukan PSI karena katanya belum terbukti dalamm hal anti korupsi. Saya ingin merespon sederhana: “Kata emak-emak kalau mau nyapu yg bersih, pakai lah sapu yang bersih, sapu kotor tidak akan mampu membersihkan, malah semakin mengotori”. Lagi pula komentar tadi rada aneh, karena ragu ke PSI yang katanya belum terbukti anti korupsi, tapi tetap ngotot mau pilih yang sudah terbukti korupsi.

Bukankah lebih baik memilih partai yang anggotanya belum terbukti korupsi daripada memilih partai yang anggotanya sudah terlibat dan terbukti korupsi?

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Thariq.

Mohamad Guntur Romli

Caleg PSI dari Jatim III (Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi)

#PSIAntiKorupsi #LawanKorupsi #PSINomor11