Larangan Poligami dalam Keluarga Putri-putri Nabi Muhammad Saw

Tujuan pernikahan adalah meraih hidup yang sakinah (tenang) dalam penuh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang), bukan sekadar menyalurkan kebutuhan biologis.

Kebahagian seseorang dalam hidup, terletak pada kesanggupannya menahan hawa nafsu, karena nafsu seks yang terdapat dalam jiwa manusia secara alami bukan untuk dilampiaskan secara berlebihan-lebihan.

Tujuan pernikahan itu adalah ikhtiar yang terus-menerus yang akan melewati cobaan dan musibah terhadap keluarga. Bagi orang yang berakal sehat, hidup monogami tidak kalah menemui cobaan dan rintangan, apalagi kehidupan poligami yang lebih besar kemungkinannya menemui persoalan dan kerumitan yang jauh lebih berat.

Laki-laki yang poligami tidak jarang melakukan kebohongan dan kekerasan baik terhadap istrinya, keluarga dan publik. Menelantarkan istri lama dan membohongi identitas adalah kisah yang umum didengar.

Namun kaum laki-laki tak kurang amunisi, mereka membawa-bawa sejarah Nabi Muhammad Saw yang beristri lebih dari satu, dan ayat Al-Quran yang dipahami memperbolehkan atau bahkan menganjurkan poligami.

Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein menyebut tiga pandangan terhadap poligami, pertama poligami adalah sunnah alias mengikuti prilaku Nabi Muhammad, keadilan yang eksplisit disebutkan Al-Quran cenderung diabaikan atau hanya sebatas argumen verbal belaka. Kedua, pandangan yang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang ketat. Ketiga pandangan yang melarang poligami secara mutlak.

Perbedaan pandangan berkaitan dalam menafsirkan surat Al-Nisâ (4) ayat 3:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا

Dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (ketika kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senang: dua, tiga atau empat, jika kamu takut tidak bisa berbuat adil, maka cukup seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Quraish Shihab adalah seorang ulama yang bisa disebut mewakili pandangan kedua. Menurutnya ayat ini tidak juga mengajurkan apalagi mewajibkan poligami, tetapi ia hanya bicara tentang bolehnya poligami, dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalu oleh siapa yang sangat amat membutuhkan, dan dengan syarat yang tidak ringan.

Soal poligami Nabi Muhammad Saw Quraish Shibab mengajak kita untuk mencermati masa pernikahannya secara utuh. Nabi Muhammad Saw menikah monogami (satu istri) dengan Khadijah selama 25 tahun.

Setelah tiga atau empat Khadijah wafat, Nabi Muhammad Saw baru menggauli Aisyah. Kehidupan poligami Nabi Muhammad Saw hanya 8 tahun. Jika demikian, mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani?

Bagi Faqihuddin Abdul Kadir dan Husein Muhammad Islam memilih monogami daripada poligami. Meskipun argumentasi kedua orang ini mirip dengan Quraish Shibab namun sikap dan pandangan keduanya jauh lebih tegas. Dengan memberikan dalil-dalil yang berasal dari penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi menyatakan bahwa Islam memilih sistem monogami, tidak ada ayat Al-Quran yang mengapresiasi perilaku poligami, apalagi mengaitkan poligami dengan ukuran ketakwaan seseorang.

Faqihuddin dalam bukunya “Memilih Monogami” memaknai akhir ayat 3 dari surat Al-Nisâ tadi sebagai dzâlika adnâ allâ taûlû sebagai “hal demikian itu (monogami) lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Nabi Muhammad Melarang Ali Menduakan Fathimah dan Kehidupan Rumah-Tangga Putri-putri Nabi yang Tidak Poligami

Dikutip juga hadits-hadits yang menyatakan larangan Nabi Muhammad Saw saat Ali bin Abi Thalib ingin memadu putrinya Fathimah dengan perempuan lain. Ali pun taat dan hidup monogami sampai Fathimah wafat. Alasan Nabi Muhammad Saw melarang poligami itu karena menyakiti hati putrinya, bila hati putrinya sakit, maka dia juga sakit.

Selain itu Nabi Muhammad Saw juga seperti tidak rela memiliki besan dari bekas musuhnya: Abu Jahal, meskipun putrinya yang dipinang Ali: Juwairiyah sudah masuk Islam.

Dikabarkan maksud Ali meminang putri Abu Jahal yang sudah memeluk Islam itu agar ia terlindungi dan tidak kembali pada keyakinan ayahnya.

Diriwayatkan dari Miswar bin Makhramah bahwa:

أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ، وَعِنْدَهُ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا سَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ، أَتَتِ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ لَهُ: إِنَّ قَوْمَكَ يَتَحَدَّثُونَ أَنَّكَ لَا تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ، وَهَذَا عَلِيٌّ نَاكِحًا ابْنَةَ أَبِي جَهْلٍ، قَالَ الْمِسْوَرُ: فَقَامَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ، فَحَدَّثَنِي فَصَدَقَنِي، وَإِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ مُضْغَةٌ مِنِّي، وَإِنَّمَا أَكْرَهُ أَنْ يَفْتِنُوهَا، وَإِنَّهَا وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ، وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ أَبَدًا، قَالَ: فَتَرَكَ عَلِيٌّ الْخِطْبَةَ

Ali meminang putri Abu Jahal padahal ia sudah beristri Fathimah. Mendengar kabar itu Fathimah mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: ”Mereka mengira kamu tidak akan pernah marah (untuk membela) putri-putrimu. Dan ini Ali mau menikahi putri Abu Jahal. Miswar meneruskan ceritanya, bahwa Nabi langsung berdiri, setelah mengucapkan syahadat, beliau bersabda: Aku telah menikahkan Abul Ash bin al-Rabi(dengan Zainab, kakak Fathimah), ia setia dan jujur padaku, sungguh! Fathimah adalah bagian dari diriku, aku tidak mau sama sekali kalau ada yang mengganggunya (dalam riwayat Al-Bukhari أن يسوءها ”berbuat buruk padanya”—Demi Allah tidak akan pernah berkumpul putri Nabi Muhammad Saw bersama putri musuh Allah (maksudnya Abu Jahal) di sisi satu orang laki-laki.” Kata Miswar: ”Ali pun membatalkan pinangan itu.” (HR Al-Tirmidzi dan Al-Bukhari)

Dalam riwayat oleh Muslim, Nabi Muhammad Saw bersabda:

إن بني هشام بن المغيرة استأذنوني أن ينكحوا ابنتهم علي بن أبي طالب فلا آذن لهم ثم لا آذن لهم ثم لا آذن لهم إلا أن يحب ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم فإنما ابنتي بضعة مني يريبني ما رابها ويؤذيني ما آذاها

Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin padaku mereka mau menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, tidak akan aku beri izin, tidak akan aku beri izin, tidak akan aku beri izin kecuali (Ali) bin Abi Thalib menceraikan putriku (Fathimah) dan ia bisa menikah dengan putri mereka, karena sungguh putriku adalah bagian dari diriku, aku akan gelisah yang membuatnya gelisah dan menyakitiku apapun yang membuatnya sakit. (HR. Muslim)

Dalam redaksi lain yang sama-sama diriwayatkan Muslim:

أني لست أحرم حلالا ، ولا أحل حراما ، لكن والله لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله مكانا واحدا أبدا

Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, tapi Demi Allah tidak akan berkumpul putri Rasul Allah dengan putri musuh Allah dalam satu tempat selamanya.

Namun bagi pihak pembela poligami memahami hadits-hadits larangan Nabi Muhammad Saw tadi sebagai hadits yang kasuistis. Inilah bukti ketidakkonsistenan mereka: dalam menafsirkan ayat 3 surat Al-Nisâ mereka berusaha memelar-melarkan ayat ini agar jauh dari konteksnya sebenarnya: menghindari kezaliman dengan menikahi perempuan-perempuan yatim dengan tujuan menguasai harta mereka.

Mereka pun berdalih ayat Al-Quran ini berlaku umum yang memperbolehkan poligami. Namun untuk hadits-hadits Nabi Muhammad Saw yang melarang Ali memoligami putrinya disebut sebagai hadits yang kasuistis.

Kesimpulan tadi hanya dugaan, tidak didukung dalil-dalil yang valid. Kekhususan larangan menikahi istri-istri Nabi setelah beliau wafat misalnya ditegaskan dengan ayat 53 surat Al-Ahzâb (33) bukan berdasarkan dugaan dan tafsiran. Ini contoh kekhususan Nabi Muhammad Saw.

Dalam ayat ini juga ada larangan menyakiti Nabi Muhammad Saw, para pembela poligami pun membawa hadits-hadits larangan tadi pada kesimpulan: dengan memoligami putri Nabi Muhammad Saw akan menyakitinya. Namun yang patut ditanyakan: sebagai apa Nabi Muhammad Saw tersakiti? Tentu saja sebagai ayah yang tidak rela putrinya dipoligami yang menyebabkannya sakit hati, seperti yang terjadi pada Fathimah. Apakah ada perbedaan seorang ayah yang nabi dengan ayah-ayah yang lain kalau putrinya dipoligami dan disakiti? Ayah yang peduli dan peka dipastikan akan sakit apabila putri-putri mereka disakiti.

Putri-putri Nabi yang Lain: Zainab, Ruqayyah dan Um Kultsum Tidak Ada yang Dipoligami

Hal yang menarik juga dari hadits pertama bahwa Nabi Muhammad Saw berusaha membandingkan Ali bin Abi Thalib dengan menantunya yang lain Abul Ash bin al-Rabî suami Zainab kakak Fathimah yang waktu itu masih belum memeluk Islam. Meskipun berbeda iman, Nabi Muhammad Saw memuji Abul Ash karena ia berbuat baik terhadap putrinya, Zainab dan tidak memoligaminya.

Menantu Nabi Muhammad Saw yang lain Utsman bin Affan yang menikahi putrinya Ruqayyah merupakan sosok menantu yang baik terhadap istrinya. Keduanya yang pernah hijrah ke Habsyah dijuluki pasangan yang ideal. Saat itu dikenal sebait senandung:

أحسن زوج رآه إنسان * رقية وزوجها عثمانُ

Sebaik-baiknya pasangan yang dilihat oleh insan * Ruqayyah dan suaminya Utsman

Merawat Istri yang Sakit Tidak Kalah dengan Jihad Peperangan

Ruqayyah sakit keras menjelang Perang Badar, Utsman yang mengetahui peperangan untuk membela diri adalah kewajiban dan bentuk jihad yang paling tinggi saat itu, ingin ikut berperang, namun Nabi Muhammad Saw melarangnya agar ia merawat istrinya yang sedang sakit keras. Dan Ruqayyah meninggal karena sakit itu saat ayahnya dan kaum muslimin dalam perang Badar.

Utsman sedih karena ditinggal istrinya yang tercinta dan tidak bisa ikut jihad. Nabi Muhammad Saw menghiburnya bahwa dengan merawat istrinya yang sedang sakit ia memperoleh pahala seperti orang yang ikut dalam dalam perang Badar dalam sebuah riwayat Al-Bukhari dari Ibn Umar:

لك أجر رجل شهد بدرا وسهمه

Kamu memperoleh pahala seperti orang menyaksikan (terlibat) dalam perang Badar sekaligus anak panah mereka. (HR Al-Bukhari).

Untuk menghibur Utsman yang kehilangan istrinya Nabi Muhammad Saw mengawinkannya dengan adik Ruqayyah: Um Kultsum. Dan Utsman tidak memoligami Um Kultsum sampai ia wafat pada tahun 9 H. Setelah Um Kultsum meninggal Utsman menikah dengan Fakhitah binti Ghazwan.

Fakta-fakta sejarah ini membuktikan bahwa kehidupan keluarga putri-putri Nabi Muhammad Saw yang monogami dan tidak mau dipoligami.

Mohamad Guntur Romli