Tes Baca Quran untuk Capres dan Cawapres, Bisakah Didukung?

Dalam beberapa hari ini jagat politik Indonesia dimeriahkan dengan usulan tes baca Quran untuk Capres dan Cawapres. Usulan itu datang dari Ikatan Dai Aceh.

Respon beragam pun datang dari dua kubu, baik Jokowi KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Sandiaga Uno. Intinya, dari Kubu Jokowi KH Ma’ruf Amin tidak mempermasalahkan usulan itu, dan siap hadir.

Sedangkan kubu Prabowo Sandiaga Uno yang selama ini sering memakai isu politik identitas, SARA, mulai dari Ijtima’ Ulama, hingga aksi Bela Islam, Bela Quran, Bela Ulama menolak usulan itu. Penolakan kubu Prabowo semakin membuktikan bahwa Prabowo memang tidak bisa baca Quran.

Bagaimana mungkin teriak-teriak bela Quran dan Ulama tapi tidak bisa mengaji? Bagaimana mungkin kita membela atas persoalan yang tidak kita pahami dan mengerti? Sebuah tamsil menarik dari Al-Quran seperti “keledai yang membawa kitab-kitab”–kamatsalil himaari yahmilu asfaara. Mereka teriak-teriak bela Quran, tapi Capresnya ngaji pun tidak bisa. Jangan sampai ada komentar: Ijtima’ Ulama kok malah pilih Capres seperti keledai!

Usulan Ikatan Dai Aceh adalah tamparan bagi kubu Prabowo yang selama ini sering menggunakan agama sebagai senjata politik untuk menyerang, kini senjata itu makan tuan!

Lantas apakah usulan Ikatan Dai Aceh ini bisa didukung? Tergantung bagaimana kita melihatnya dari sudut mana.

Kalau dari sisi Konsitusi dan Peraturan serta Perundang, usulan itu tidak dikenal. Tidak ada baca tulis Al-Quran sebagai tes Capres dan Cawapres. Adanya aturan debat yang menampilkan masing-masing pasangan berdemonstrasi terkait visi, misi dan program yang akan mereka lakukan bila terpilih nanti.

Artinya usulan yang bernuansa agama tertentu tidak boleh masuk dalam peraturan resmi, karena negara kita meskipun mengakui Tuhan tapi tidak berdasarkan agama tertentu. Intinya usulan itu harus ditolak untuk menyelamatkan negara kita dari rongrongan politik identitas yang mengatasnamakan agama tertentu.

Namun, sebagai wacana pencerdasan politik bagi publik, khususnya membuka kedok pendukung Prabowo Sandiaga Uno yang selama ini gemar menggunakan isu agama, usulan itu menelanjangi modus mereka. Masih segar bagaimana pendukung Prabowo dan Sandi ini pada Pilkada DKI mengunakan isu Gubernur Muslim dan pilih Gubernur seiman untuk menyerang Ahok.

Atau serangan fitnah dan kebohongan terhadap Jokowi yang dikaitkan dengan isu PKI, anti agama, keturunan Cina dan Kristen yang selama ini dilancarkan pendukung Prabowo.

Kini, senjata itu makan tuan. Apabila dikaitkan dengan pengetahuan dan keterampilan keislaman maka, pasangan Prabowo Sandiaga Uno kalah jauh dengan pasangan Jokowi KH Ma’ruf Amin. Setelah gegap gempita soal usulan tes baca Quran ini, sebaiknya pendukung Prabowo dan Sandi tidak menggunakan lagi isu agama.

Namun sebenarnya usulan Ikatan Dai Aceh itu tidak perlu ditanggapi dengan pro dan kontra yang tajam. Namanya juga usulan. Karena ini di luar jalur resmi, maka bisa dipahami sebagai usulan kultural. Soal kesediaan dan kesiapan maka tergantung pihak pasangan capres dan cawapres yang tidak mengikat dan tidak wajib hadir.

Tidak perlu menuduh pula Ikatan Dai Aceh ini punya motif politik atau condong pada pasangan Capres tertentu. Karena tes baca Quran adalah hal yang lumrah di Aceh karena memiliki sistem peraturan yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia.

Sebagai penutup tulisan, saya malah mau melemparkan tanggung jawab soal baca Quran ini pada kumpulan yang menamakan dirinya sebagai Ijtima’ Ulama yang mengeluarkan rekomendasi Capres. Tugas mereka lah untuk mengajari capres belajar mengaji dan membaca Qur’an. Kemudian ada tugas baru lagi, mengajari Cawapresnya Sandiaga Uno belajar wudlu’ dengan benar. Jangan menggunakan air musta’mal (air terpakai) dan wudlu’ dari dalam satu gayung dengan mencelup-celupkan tangan, sementara dia dalam kondisi di tempat wudlu’ yang airnya banyak.

Tatacara Wudlu’ Sandiaga Uno itu bisa dibela dengan madzhab Wahabi, tapi karena kondisi di sana kesulitan air yang berada di Padang Pasir. Apakah saat Sandi berwudlu’ sedang kesulitan air? Atau memang tidak pernah belajar wudlu’ dengan baik dan benar saja. Karena, kalau wudlu’ nya tidak sah, maka shalatnya pun tidak sah. Apalagi dijadikan sebagai imam shalat, maka, seluruh shalat jamaah yang ikut pun tidak sah.

Nah, kalau Ijtima’ Ulama ini tidak mampu mengajari Capresnya mengaji maka, tidak perlu pula mempolitisasi agama dan ulama hanya untuk keburukan Pilpres.

Terlalu mulia Islam dan ulama jika dipakai alat politik kekuasaan.

Hari terakhir 2018.

Mohamad Guntur Romli
gunromli.com