Menyelesaikan Masalah di Papua

Luka Papua adalah luka kita bersama. Luka bagi bangsa Indonesia. Hinaan pada manusia Papua adalah hinaan yang sebenarnya pada kita semua: manusia Indonesia. Masalah Papua yang sebenarnya bukanlah soal politik, sumber daya alam, atau masalah-masalah lain, masalah yang sebenarnya adalah memanusiakan manusia Papua. Ini masalah yang sangat mendasar, bahkan masalah yang sering diyakini melebihi dari soal hidup dan mati.

Masalah dari Luar Papua

Masalah di Papua bukanlah di mereka, bukan di sana, tapi masalahnya ada di luar Papua, di sini. Banyak yang menyebut masalah sebenarnya ada di Jakarta. Masalah di Papua bukan bersumber di Papua, tapi dikirim dari luar Papua. Papua menjadi sasaran masalah, Papua bukan pembuat masalah.

Menyikapi masalah-masalah di Papua, seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia lebih ke soal merasakan dan melibatkan dalam penderitaan manusia Papua. Seperti larik dari puisi Sutardji Calzoum Bachri “tertusuk padamu berdarah padaku”. Apa yang tertusuk pada manusia Papua berakibat pada pendarahan bagi bangsa Indonesia.

Setelah hinaan rasisme yang berakibat kerusuhan di Papua, maka haruslah dilakukan langkah-langkah untuk kembali membangun Papua. Tapi yang patut dicatat pembangunan di sini tidak hanya soal fisik, atau infrastruktur saja tapi lebih pada pembangunan penghormatan pada manusia Papua yang pusatnya adalah ‘memanusiakan manusia’.

Hentikan Pengerahan Aparat Keamanan

Hal yang darurat yang harus dilakukan adalah menghentikan segala pendekatan keamanan apalagi pengerahan aparat keamanan ke Papua. Manusia Papua adalah manusia-manusia merdeka yang tidak bisa didekati dengan pendekatan keamanan yang cenderung represif.

Manusia merdeka lebih membutuhkan dialog, menyimak suara mereka, menghormati dan menghargai. Karena pendekatan keamanan hanya dilakukan pada mereka yang bukan manusia merdeka.

Ada pepatah dari sastrawan Al-Jahidz yang sangat relevan di ranah ini: al-‘abdu yuqra’u bil asha wal hurru takfihi al-isyarah (budak diingatkan dengan tongkat, sedangkan orang mereka cukuplah dengan isyarat).

Hilangnya Kepercayaan

Pendekatan ‘memanusiakan manusia’ Papua seperti yang dulu dilakukan oleh Gus Dur, bukan dengan pendekatan keamanan apalagi pengiriman aparat militer ke Papua. Pendekatan Gus Dur ini pula yang menimbulkan ‘trust’ (kepercayaan) dalam jiwa masyarakat Papua. Kepercayaan ini yang sekarang hilang dari masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia.

Karena ‘jubir-jubir’ Pemerintah saat ini menampilkan sosok-sosok yang terlibat masalah masa lalu yang tidak bisa mengirimkan kepercayaan pada masyarakat Papua. Demikian pula dengan cara keamanan dan militer yang alih-alih mampu menerbitkan kepercayaan masyarakat Papua malah memunculkan kecurigaan, kesalahpahaman dan ketakutan yang berujung pada kerusuhan dan kekerasan.

Tiga Kunci: Sosial, Agama dan Adat

Dalam menyelesaikan masalah di Papua kalau kita mengambil inspirasi dari kebijakan Gus Dur dengan menggunakan tiga kunci: sosial, agama dan adat (budaya). Karena pendekatan politik apalagi birokrasi pemerintahan di Papua tidak lah efektif, apalagi pendekatan militer yang hanya menambah ketakutan dan ketidakpercayaan. Gus Dur waktu itu meskipun menjabat sebagai presiden dalam menyikapi masalah di Papua tidak lah dengan menggunakan pendekatan politik dan birokrasi pemerintahan tapi dengan tiga kunci tadi. Bahkan saat itu, Gus Dur malah berbenturan dengan kelompok militer.

Masyarakat Papua memiliki ikatan sosial yang kuat, menghormati ajaran agama dan patuh pada hukum adat. Pelibatan tokoh-tokoh masyarakat sipil non politik, tokoh-tokoh dari lintas agama, hingga para tokoh dan ketua  adat dan lembaga adat.

Namun semua hal itu tidak akan berjalan sukses kalau langkah pertama yaitu cara non keamanan dan militer tidak dilakukan. Mengirimkan pasukan militer ke Papua untuk menghadapi suara-suara rakyat Papua sama saja masuk dalam ‘jebakan batman’. Karena kekerasan, represi, hingga kesewenangan-wenangan aparat akan disajikan sebagai konsumsi di dunia internasional yang akhirnya menjadi bumerang dengan menyerang balik Pemerintah Indonesia.

Kesimpulannya masalah sebenarnya bukan ada di Papua tapi masalah-masalah yang dikirim dari luar Papua.

Dimuat di detik.com Senin 2 September 2019