Jamaah Tabligh adalah kelompok yang bertanggung jawab atas karantina masjid di Kebon Jeruk Jakarta, karena ngeyel tetap bertumpuk di masjid meski sudah ada yang positif Covid-19.

Jamaah Tabligh didirikan tahun 20-an di India, yg kini anggotanya menyebar keseluruh dunia. Kelompok ini punya ciri khas berdakwah dari pintu ke pintu, tujuannya tablighu dakwah ‘menyampaikan dakwah’ katanya. Yang jadi masalah para misionaris ini tidak berasal dari tempat itu, namun berasal dari tempat nun jauh. Misi ini mereka sebut khuruj (keluar) dikenal juga sebagai ‘jaulah’ untuk berdakwah yg menjadi ajaran dasar kelompok ini. Orang India bisa ke Indonesia, demikian pula sebaliknya. Biasanya mrk datang ke rumah bergerombol, kalau dari luar negeri, mungkin ada satu orang lokal jadi penerjemah.

Karena mereka dari luar jauh, di mana mereka tinggal? Ya di dalam masjid, sekaligus i’tikaf katanya. Bagi Jamaah Tabligh, masjid tdk hanya tempat ibadah, tapi juga bermukim. Katanya mereka ingin mencontoh Nabi Muhammad Saw yg dulu rumahnya satu dgn masjid nabawi. Tak heran, Jamaah Tabligh bawa perlengkapan dapur ke majid, kompor, wajan, panci, ketel hingga memasak di dalam masjid (karena kalau mereka memasak keluar masjid i’tikafnya akan batal). Intinya mereka tdk hanya beribadah, tapi juga tidur, masak, BAB, mandi, mencuci di masjid, lagi-lagi alasannya agar i’tikafnya tidak batal.

Niat mereka ingin mengikuti Nabi bagus, tapi mengapa pemahamannya hanya dikerdilkan menjadi bermukim di masjid? Nabi juga tdk ada pakai kompor, wajan, panci, apalagi merebus mie instan dan kelakukan jorok lainnya. Karena kebiasaan inilah, banyak terjadi konflik antara Jamaah Tabligh dgn takmir dan jemaah setempat yg sering terjadi pengusiran.

Khuruj sdah menjadi kewajiban bagi pengikut Jamaah Tabligh, bisa 3 hari dlm sebulan, 40 hari dlm setahun, 4 bulan sepanjang hidup. Semakin sering khuruj, semakin naik ‘level’ anggota Jamaah Tabligh. Banyak kasus krn keseringan khuruj lupa menafkahi anak istri.

Jamaah Tabligh sering disebut apolitis, tidak berpolitik. Tapi kenyataannya kelompok ini sering dimanfaatkan tujuan politik, karena kelompok ini solid, maka sangat efektif untuk mobilisasi politik.

Seperti kasus di India, di Pakistan malah terlibat kudeta politik, di Afghanistan kelompok Taliban juga awalnya banyak dari kelompok ini. Di Malaysia, Jamaah Tabligh terafiliasi dengan parpol Islam PAS.

Tokoh Jamaah Tabligh juga sering mengeluarkan pilihan politiknya, contohnya Derry Sulaiman pada Pilpres 2019 terang-terangan berkampanye untuk Prabowo, bahkan ikut nyanyi-nyanyi 2019 Ganti Presiden.

Apakah Jamaah Tabligh termasuk kelompok radikal? Saya jawab tidak, karena khittohnya tidak ada tujuan politik, meski dalam kenyataannya tidak kedap dari pemanfaatan politik, khususnya dari anggota dan tokohnya.

Namun Jamaah Tabligh bisa menjadi batu loncatan ke radikalisme, karena ada karakter Jamaah Tabligh yang bisa mendorong ke arah itu. Tertutup, fanatik, puritan, kaku, intoleran. Apabila ada individu yang sudah meluap emosinya karena tertutup, fanatik dan intoleran, akan menyalurkannya dengan bergabung kelompok-kelompok radikal dan garis keras.

Fanatisme Jamaah Tabligh pada ajaran kelompoknya yang melebihi kepatutan pada ajaran agama Islam yang sudah disepakati.

Contohnya jumaatan adalah kewajiban muslim individual (fardlu ain), tapi karena kondisi darurat agar tidak ada penyebaran Covid-19, Jumatan bisa ditiadakan. Kewajiban jumatan ini sudah ijma’ (semua sepakat) tapi bagi Jamaah Tabligh, doktrin khuruj atau jaulah, atau bermukim di masjid yang hanya dikenal di kelompok itu, mereka tetap memaksakan diri untuk menjalankannya. Seakan-akan khuruj dan jaulah ini lebih wajib daripada jumatan. Akhirnya terjadilah kasus Masjid Kebon Jeruk Jakarta itu.

Padahal Islam sangat mementingkan keselamatan nyawa dan kesehatannya, tidak ada ibadah dalam Islam yang harus beresiko besar mempertaruhkan nyawa. Kalau ada hal darurat yang terkait dengan keselamatan jiwa dikenal istilah rukhsah (dispensasi), bukan ibadahnya yang ditiadakan tapi diganti dengan bentuk atau waktu yang menyesuaikan kondisi. Jumatan di masjid ditiadakan, tapi ibadahnya tetap shalat dzhuhur berjamaah di rumah, orang sakit boleh tidak puasa di bulan Ramadhan, tapi menggantinya di lain hari, bagi yang sakit tidak harus wudlu dengan air tapi menggantinya dengan tayamum dst.

Walhasil tindakan-tindakan yang bisa menjerumuskan pada bahaya seperti yang dilakukan Jamaah Tabligh di Masjid Kebon Jeruk pada hakikatnya sangat ditentang oleh ajaran Islam itu sendiri.

Wallahu A’lam

Mohamad Guntur Romli
gunromli.com