Mengapa Netanyahu dan Hamas Saling Membutuhkan?

Secara kasat mata, Netanyahu dan Hamas berperang. Baik perang kata-kata juga senjata. Netanyahu menyebut Hamas ‘teroris’, Hamas menyebut Netanyahu ‘zionis imperialis’. Kedua belah pihak saling serang: Hamas melontarkan roket-roket ke Israel, Netanyahu memerintahkan militer Israel untuk menyerang Gaza.

Tapi sebenarnya perang kata-kata dan senjata itu hanyalah cara bagi dua kubu politik ‘fundamentalis’ itu mempertahankan kekuasaan dan kebijakan politik mereka.

Dalam konflik Israel dan Hamas, sebenarnya kita disuguhkan “benturan antar fundamentalis”. Kalau buku Tariq Ali “The Clash of Fundamentalisms” memasang foto George W Bush dengan sorban Osama bin Laden, sebagai simbol benturan dua jenis fundametalis: ‘imperealis’ Vs ‘jihadis’, maka dalam konteks konflik Israel-Palestina kita bisa memasang foto Benjamin Netanyahu dengan Ismail Haniyyah (Ketua Hamas).

Kaum fundamentalis baik di Israel dan Palestina bertujuan: hanya ada satu negara yang boleh berdiri. Bagi fundamentalis Israel: hanya Negara Israel yang boleh berdiri, Negara Palestina tidak boleh berdiri. Demikian sebaliknya, bagi fundamentalis Palestina, hanya Negara Palestina yang boleh ada, sedangkan “Negara Israel harus dilemparkan ke laut” atau harus “dihapus dari peta dunia”.

Fundamentalis politik Israel diwakili Netanyahu. Fundamentalis Palestina diwakili Hamas. Karena keduanya tidak setuju dengan solusi “dua negara” (the two-state solution) dan sama-sama menolak Kesepakatan Damai Oslo 1993. Karena yang menandatanganinya adalah Yitzhak Rabin dari Partai Buruh (yang akhirnya dibunuh Ekstrimis Yahudi Yigal Amir) dan Yasser Arafat (Fatah/PLO) yang menjadi saingan bagi Likud dan Hamas di internal politik masing-masing.

Netanyahu berasal dari Partai Likud, yang terkenal menentang solusi “dua negara” dengan tampilan yang sekuler dan modern. Bila dibandingkan dengan parpol-parpol agama di Israel seperti Sash dan United Torah Judaism (UTJ), Partai Likud dan Netanyahu tampak di tengah. Tapi mereka disatukan oleh cita-cita bersama: tidak boleh Negara Palestina berdiri.

Demikin pula Hamas, meski disebut satu varian dengan kelompok Jihad Islami di Gaza karena sama-sama ‘politisasi Islam’ (Islam Politik), Hamas tampak ‘moderat’ karena mau ikut Pemilu, dibanding Jihad Islami yang menentang dan memboikot. Tapi keduanya punya cita-cita yang sama: Negara Israel harus hancur dan Negara Palestina harus berlandaskan pada satu dasar saja: Negara Islam. Oleh karena itu, Hamas menolak Proklamasi Negara Palestina 15 November 1988 yang dideklarasikan oleh PLO dengan Yasser Arafat.

Untuk membenarkan politik fundamentalisnya, Netanyahu ‘melestarikan’ Hamas. Artinya: Hamas tidak boleh mati, tapi tidak boleh hidup terlalu kuat. Hamas tidak boleh dimusnahkan. Padahal bukan hal yang mustahil bagi militer Israel untuk menghancurkan Hamas yang kategorinya kelompok milisi bersenjata, bukan militer negara.

Militer Israel termasuk salah satu terkuat di dunia. Dalam sejarahnya pernah dikeroyok dan menang melawan militer negara-negara Arab: Mesir, Yordania, Suriah, Libanon, Iraq, Tunisia, Arab Saudi.

Bukan pemusnahan Hamas, tapi blokade Gaza yang menjadi pilihan Netanyahu. Karena itu blokade terhadap Gaza tidak pernah dibuka. Sehingga Gaza disebut sebagai “penjara terbuka” terbesar di dunia dengan penghuni sekitar 2 juta orang, karena dikelilingi blokade militer Israel baik di darat, laut dan udara.

Agar penghuni ‘penjara terbuka’ itu tidak terlalu tertekan, panik atau mati, Netanyahu mengizinkan bantuan dana tunai dari Qatar terhadap Hamas. Bahkan Direktur Mossad Yossi Cohen harus terbang ke Doha Qatar untuk meyakinkan Qatar agar terus membantu Hamas. Miliaran dolar AS telah digelontorkan Emir Qatar. Pegawai dan warga di Gaza di bawah kendali Hamas pun memamerkan lembaran-lembaran uang dolar AS yang diterima secara tunai.

Dengan cara ini, Hamas tetap populer di Gaza tapi peran Otoritas Palestina di bawah Presiden Mahmud Abbas di Tepi Barat semakin lemah. Padahal Otoritas Palestina ini yang gigih melawan Israel di meja perundingan, tapi karena Netanyahu tidak mau berunding dan berdamai, maka dengan taktik tadi, dia telah menggerus pengaruh Otoritas Palestina di internal Palestina sendiri dengan ‘memberi’ panggung pada Hamas untuk menjalankan politik kerasnya. Agar Netanyahu bisa menyesuaikan dengan politik kerasnya sendiri.

Di internal Israel, dengan taktik tadi pula kubu pro ‘two-state solution’ yang dimotori Partai Buruh dll terus melemah pengaruhnya.

Maka sungguh tepat bila Dimitry Shumsky menulis di Haaretz (media yang dikenal sangat kritis pada fundamentalisme politik di Israel) “Netanyahu Needs a Strong Hamas in Gaza” 16 Mei 2021 saat berkecamuk perang Israel-Hamas.

Secara tak langsung, Hamas telah membantu Netanyahu untuk terus berkuasa sebagai PM Israel sejak 2009. Dengan serangan militer ke Gaza–dengan dalih memerangi Hamas–Netanyahu memperoleh popularitas dan dukungan. Menjadikan Netanyahu sebagai pemimpin terlama Israel mengalahkan David Ben-Gurion Pendiri Israel.

Demikian pula Hamas, dengan serangan roket-roket ke pemukiman Israel pun menangguk popularitas dan dukungan sejak menguasai Jalur Gaza dari tahun 2006.

Kalau masih Netanyahu memegang kendali Israel, dan Hamas menguasai Jalur Gaza, kita jangan buru-buru memikirkan damai, karena kedua kubu itu saling membutuhkan untuk melanjutkan perang.

Mohamad Guntur Romli