Masalah Apostasi (Perpindahan Agama) dalam Islam, Benarkah Harus Dibunuh?
Masalah Apostasi (Perpindahan Agama) dalam Islam, Benarkah Harus Dibunuh?
Kasus Sukmawati pindah agama menjadi perbincangan di publik kita. Bahkan sudah ada yang menyerukan agar ada hukuman bunuh untuk pelakunya yang diatasnamakan syariat Islam.
Benarkah demikian?
Masalah perpindahan agama ini sudah menjadi perdebatan lama dalam sejarah hukum Islam. Kita harus lah menyikapinya dengan pikiran yang tenang dan kembali membaca khazanah keislaman.
Pendapat yang populer memang ada hukuman fisik bagi pelaku perpindahan agama. Tapi ingat, yang populer belum tentu yang tepat dan relevan.
Saya ingin mengajak anda untuk kembali memikirkan ulang kasus ini. Tidak mudah menjatuhkan hukuman bunuh apalagi atas nama syariat Islam. Kalau dalih hanya sesederhana itu, bisa-bisa perbudakan dilegalkan kembali atas nama syariat Islam karena tidak ada teks yang jelas baik dari Al-Quran dan Hadits yang melarang perbudakan.
Saya ingin mengutip pendapat seorang pemikir dari Mesir, Gamal Al-Banna yang mengajak kita untuk membaca kembali dasar hukum ini dalam Islam. Ada kitab penting yang ditulis oleh Gamal Al-Banna terkait masalah ini: al-Islam wa Hurriyatul Fikr (Islam dan Kebebasan Berpikir).
Perpindahan agama biasa disebut dengan irtidâd, orangnya disebut murtad. Masalah ini sudah diulas secara eksplisit dalam Al-Quran. Yang perlu dicatat dengan tegas: tidak ada “hukuman duniawi” untuk kasus ini.
Karena Islam mengakui kebebasan beragama, dan keimanan berkaitan dengan kesadaran dan tanpa paksaan, maka perbedaan keimanan tidak bisa diselesaikan dan disikapi dengan hukuman fisik.
Oleh karena itu, persoalan kekafiran, keimanan, hingga kemurtadan tidak ada hukuman fisik di dunia ini, berbeda dari kejahatan membunuh, mencuri, menyakiti dan segala hal yang mengurangi dan merampak hak orang lain.
Allah Swt mengecam yang pindah agama, yang artinya keluar dari Islam, tapi tidak menyebutkan hukuman fisik. Seperti dalam ayat-ayat berikut:
Pertama, murtadnya seseorang dari Islam tidak ada pengaruh apalagi mendatangkan kerugiaan pada Allah Swt. Karena iman dan tidaknya seseorang, untung dan ruginya kembali pada dirinya sendiri (QS. Bani Isrâ’il [17]: 15). Bahkan kalau ada satu orang yang murtad, Allah Swt akan mendatangkan jumlah yang berlipat dalam suatu kaum, yang Dia cintai dan mereka mencintai Allah Swt, rendah hati, gagah perkasa berjuang di jalan-Nya serta tiada takut terhadap celaan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Hai orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu murtad dari agama, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya sebagaimana mereka pun mencintai-Nya, rendah hati terhadap orang yang beriman, gagah perkasa terhadap orang yang ingkar, berjihad di jalan Allah dan sekali-kali tiada gentar akan celaan siapa pun yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Ia berkenan. (QS. Al-Mâ’idah [5]: 54).
Kedua, orang yang murtad akan menerima murka, laknat dan siksa Allah Swt di Akhirat nanti.
كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ )٨٦ (أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ) ٨٧ (خَالِدِينَ فِيهَا لا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْظَرُونَ)٨٨ (إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ)٨٩(
Bagaimana Allah akan memimbing suatu kaum yang ingkar sesudah mereka beriman dan memberi kesaksian bahwa Rasul adalah benar dan telah datang kepada mereka bukti-bukti yang terang? Kepada orang yang zalim Allah tiada menunjuki Jalan. Mereka itu hukumannya ialah bahwa mereka ditimpa laknat Allah, para malaikat dan manusia sekalian. Mereka tinggal di dalamnya (neraka) selama-lamanya. Tiada diringankan baginya azab, tiada mereka beroleh penangguhan. Kecuali orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki diri. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Ali Imrân [3]: 86-89).
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang siapa yang mengingkari Allah sesudah (tadinya) beriman—kecuali orang yang terpaksa, dan hatinya tetap tenang dalam keimanan—barang siapa membuka dadanya bagi kekafiran, mereka ditimpa murka Allah dan mendapat azab yang dahsyat. (QS. Al-Nahl [16]: 106).
Kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan ayat-ayat tadi adalah: kasus murtad tidak ada hukum fisik dan duniawi, meskipun tetaplah merupakan tindakan yang dimurkai Allah Swt.
Lantas bagaimana dengan hadist yang menyatakan hukuman bagi perpindahan agama adalah eksekusi mati?
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Barang siapa yang mengganti agamanya maka hendaknya ia dibunuh (HR. Al-Bukhari).
Hadits ini perlu dibaca pada konteksnya. Apakah hadist ini hanya berkaitan dengan pergantian agama semata atau ada persoalan lain di balik terbitnya hadits tersebut?
Menurut Muhammad Abid Al-Jâbiri dalam bukunya Al-Dimuqrathiyah wa Huququl Insan (Demokrasi dan HAM) kita harus membedakan antara persoalan al-riddah (kemurtadan) ini dengan masalah kebebasan, karena keduanya tidak berhubungan.
Masalah kemurtadan dalam sejarah Islam klasik berkaitan dengan peperangan dan penyerangan terhadap umat Islam. Perang Murtad yang dilancarkan Abu Bakar Al-Shiddiq setelah menggantikan Nabi Muhammad Saw merupakan peperangan yang dilancarkan pada kelompok yang tidak saja berkhianat pada komunitas dan negara, tapi mereka ingin memerangi dan menghancurkan komunitas dan negara umat Islam saat itu.
Maka orang yang murtad dihukum saat itu bukan karena bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama (yang telah diakui Islam), namun hukuman terhadap pengkhianatan pada umat, negeri dan negara.
Dalam hadits-hadits lain kita menemukan penjelasan dari hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari tadi. Ada hadist yang lebih lengkap yang juga diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh Al-Bukhari dan Muslim, oleh nama yang kedua hadits berikut diletakkan di Bab Orang Yang Memerangi dan Murtad (Bâb al-Muhâribîn wa al-Murtaddîn).
لا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ ، وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Tiada halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa aku (Muhammad) utusan Allah kecuali dengan salah satu tiga alasan: (karena dia) sudah menikah tapi berzina, orang (yang dibalas bunuh) karena membunuh (dengan sengaja) orang lain, dan orang yang meninggalkan agamanya dan menentang komunitas (HR. Al-Bukhâri dan Muslim).
Sedangkan dalam riwayat A’isyah teksnya lebih jelas:
لا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ زَانٍ مُحْصَنٌ يُرْجَمُ أَوْ رَجُلٌ قَتَلَ رَجُلًا مُتَعَمِّدًا فَيُقْتَلُ أَوْ رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنْ الْإِسْلَامِ يُحَارِبُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ فَيُقْتَلُ
Tidak dihalalkan membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu tiga sebab: zina muhshan (terikat pernikahan) maka dirajam, membunuh seseorang dengan sengaja maka ia dibunuh dan keluar dari Islam lantas memerangi Allah dan Rasul-Nya maka ia dibunuh
Gamal Al-Banna mencatat: pada masa Nabi Muhammad Saw, terdapat beberapa orang murtad, tapi beliau tidak memerintahkan untuk mengejar dan membunuh mereka. Diriwayatkan dua belas orang murtad dan keluar dari Madinah, menuju Makkah, di antaranya Al-Harist bin Suwaid Al-Anshari. Menghadapi masalah ini, Allah menurunkan firman-Nya
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barang siapa yang mencari selain Islam sebagai agama, tiadalah itu akan diterima daripadanya, dan di akhirat nanti ia masuk golongan yang menderita kerugian (QS. li Imrân [3]: 85).
Demikian juga terjadi pada Ubaidullah bin Jahasy yang memeluk agama Kristen saat hijrah ke Habsyah, setelah sebelumnya mengimani ajaran Nabi Muhammad Saw tidak bereaksi apapun mendengar kabar ini. Kejadian lain tentang perpindahan agama, seorang bapak bernama al-Hashin dari Bani Salim bin Auf di Madinah datang ke Nabi Muhammad Saw dan melaporkan bahwa dua anaknya memeluk kristen, dia meminta Nabi Muhammad Saw mendoakan mereka agar masuk neraka—dalam riwayat lain dikabarkan ia ingin memaksa kedua anaknya agar kembali memeluk Islam—namun Nabi Muhammad Saw tidak mengabulkan permintaannya, turunlah ayat yang menegaskan sikap Nabi Muhammad Saw itu:
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tiada paksaan dalam agama, sungguh, Kebenaran jelas (berbeda) dari kesesatan. (QS. Al-Baqarah [2]: 256).
Kesimpulan: meskipun perpindahan dari Islam ditentang oleh Allah Swt dengan ancaman murka, laknat dan neraka, tapi Allah Swt tidak menetapkan hukuman fisik dan duniawi terhadap orang murtad.
Peristiwa murtad di zaman sahabat Nabi yang berujung eksekusi bukan soal perpindahan agama atau seseorang yang menyatakan keluar dari keimanan Islam saja, namun suatu tindakan kriminal: berbalik memerangi umat Islam.
Mohamad Guntur Romli
Tags In



Terkini
- Tiga Langkah Jenius Megawati Saat Pencapresan Ganjar Pranowo
- Memilih Ganjar Pranowo, Meneruskan Jokowi Membangun Indonesia
- Ayat Al-Quran yang Sering Dipakai oleh Teroris
- Mengapa Koalisi Anies Gagal Deklarasi Pencapresan?
- Halloween: Saudi Kebarat-baratan, Indonesia Kearab-araban
- Tahun 2024, Mereka Ingin Khilafah Berdiri di Indonesia
Categories
- Berita (110)
- Santuy (5)
- Siaran Pers (31)
- Tulisan (181)
- Video Cokro TV (15)