Tentang wasiat Dorce Gamalama atau yg biasa disapa Bunda Dorce, yang ingin dimakamkan secara perempuan saat meninggal.

Dan Bunda Dorce sudah meninggal. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahummaghfirlahuma warhamhuma..

Dan kita juga tahu, wasiat Bunda Dorce dikhianati.

Wasiatnya waktu itu sebenarnya untuk internal keluarganya tapi mendapat komentar dari mana-mana.

Banyak komentar yang menentang wasiat Bunda Dorce, khususnya dengan mengunakan agama. Bunda Dorce, saya lihat waktu itu, tampak gusar.

Banyak yang komentar, tapi ngasal, tidak memahami masalah sesungguhnya.

Padahal untuk memberikan komentar apalagi kesimpulan, harus mengerti persoalan dengan benar.

Ini pentingnya melakukan apa yang disebut kalau dalam Islam sebagai “at-tashawwur”.

“Tashawwur” adalah proses pengetahuan tentang suatu persoalan tanpa memberikan kesimpulan/hukum terhadapnya.

Idraaku as-syai’ bilaa hukmi alaihi

إدراك الشيء بلا حكم عليه

“Thashawwur” kalau dalam istilah yang lebih dikenal: identifikasi masalah.

Harusnya jangan dulu buru-buru menyimpulkan wasiat Bunda Dorce itu salah atau benar, apalagi menuduh bertentangan dengan syariat Islam. Tanpa mengerti persoalan yang sesungguhnya, dan mengerti status Bunda Dorce itu sendiri.

Harusnya mereka yg celamitan menghakimi: melakukan identifikasi masalah terlebih dahulu.

Yang menuduh wasiat Bunda Dorce bertentangan dengan syariat Islam karena masih menganggap Bunda Dorce adalah waria (wanita setengah pria).

Padahal Bunda Dorce adalah seorang wanita melalui proses pergantian kelamin (transeksual).

Awalnya Bunda Dorce memang dilahirkan sebagai anak laki-laki tahun 1963 di Solok, Sumatera Barat. Orang tuanya memberi nama: Dedi Yuliardi Ashadi.

Meskipun memiliki jenis kelamin laki-laki, tapi Dedi merasa sebagai seorang wanita. Perasaan ini merupakan dorongan dari dalam, bukan karena dibuat-buat.

Dorongan ini karena hormonal dan psikologis pada orang transgender, yakni orang yang memiliki ekspresi, hasrat dan identitas gender tapi berbeda dengan jenis kelaminnya.

Misalnya ada yang lahir dengan jenis kelamin laki-laki, tapi dia merasa sebagai perempuan. Juga sebaliknya ada yang lahir dengan jenis kelamin perempuan tapi merasa dia laki-laki.

Contoh dari kasus pertama adalah Dedi, lahir sebagai laki-laki tapi merasa sebagai perempuan. Sering disebut waria (wanita setengah pria)

Contoh kasus kedua adalah Serda Aprilia Manganang, mantan pemain Timnas Bola Voli puteri, yang lahir perempuan tapi merasa sebagai laki-laki sering disebut “tomboy”.

Ada juga yang memiliki dua jenis kelamin, ini yang disebut dengan interseks, bahasa Arabnya disebut al-khuntsâ.

Untuk yang terlahir laki-laki tapi berjiwa dan berekspresi perempuan disebut al-mukhannats. Atau ada istilah lain dari Surat an-Nur ayat 31 “ghairi ulil irbati min al-rijâl”

غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ

laki-laki yang sudah tidak punya berahi alias nafsu pada perempuan.

Bagaimana menyikapi soal waria, transjender dan interseks ini dalam Islam?

Imam an-Nawawi salah seorang pen-syarah, penafsir, komentator terhadap kumpulan hadits riwayat Imam Muslim dalam Kitab “Syarah Muslim” mengatakan ada dua jenis:

Pertama, yang tercipta secara kodratnya sebagai waria (khalquhu min al-ashl) dan yang kedua, yang dibuat-buat (al-takalluf).

Islam dengan tegas melarang yang kedua, yang hanya dibuat-buat untuk motif-motif tertentu. Banyak tuh di tv-tv kita, yg berlagak dan berdandan ala waria tapi sebagai bahan pelecehan dan tertawaan.

Ada hadits Nabi yang melarang laki-laki yang dibuat-dibuat menyerupai perempuan ( al-mutasyabbihin minal rijal bin nisaa’) dan perempuan yang dibuat-dibuat menyerupai laki-laki (al-mutasyabbihat minan nisaa’ bir rijaal atau juga disebut al-mutarajjilat).

Kesimpulannya kalau ada waria yang memang aslinya seperti itu, maka dimaklumi karena ditakdirkan dan diciptakan sebagai waria. Yang dilarang adalah yang dibuat-buat, yang artifisial, yang imitatif alias waria palsu.

Kembali ke masalah Dedi Ashadi yang kemudian menjadi seorang transgender (waria), seseorang yang punya jenis kelamin laki-laki tapi berpenampilan dan menjadi sebagai wanita karena dorongan dari dalam dirinya.

Dedi menjadi waria. Dedi juga memilih nama sebagai Dorce.

Dorce kemudian mengganti kelamin biologisnya melalui operasi ganti kelamin dari jenis laki-laki menjadi jenis kelamin wanita pada tahun 1983.

Artinya Dorce sudah melalui proses transgender menjadi transeksual.

Dalam istilah Arabnya Dorce bukan lagi seorang “mukhannats” (waria, transjender) tapi sudah “mutahawwil jinsiyyan” (transeksual, mengubah kelaminnya).

Apalagi Dorce juga mengubah identitas resminya di administrasi kependudukan dari laki-laki menjadi perempuan.

Proses itu telah sah mengubah Dedi Yuliardi Ashadi yang lahir dengan jenis kelamin laki-laki, yang kemudian menjadi transgender (waria) karena merasa sebagai wanita, kemudian mengganti kelamin dari laki-laki ke wanita yang disebut transeksual, jadilah Dorce Gamalama.

Dorce Gamalama adalah seorang wanita, apalagi sudah berjilbab, dia bukan waria, apalagi pria.

Saat Dorce mengubah kelaminnya, banyak juga yang menentangnya. Tapi ada tokoh Islam yang membelanya. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur.

Bahkan ada humor Gus Dur tersendiri soal Dorce. Saat Dorce menemui Gus Dur dengan sapaan “Gus, ini saya Dorce” Gus Dur menjawab “Iya, saya tahu, yang dulunya Banser sekarang jadi Fatayat”

Setelah naik haji tahun 1990, ditambahin lagi namanya menjadi Dorce Gamalama Halimatus Sa’diyyah. Halimatus Sa’diyyah merupakan nama ibu susuan Nabi Muhammad Saw.

Bunda Dorce juga katanya pernah menikah tapi tertutup soal urusan percintaannya (gak usa kepo dan usil), tapi dia mengadopsi tiga anak. Bunda Dorce adalah ibu dari tiga orang anak angkat. Dan juga, melalui Yayasan Dorce Halimatussa’diyah, Bunda Dorce menyantuni ribuan anak-anak yatim dan anak-anak dari keluarga tidak mampu.

Karena itu tuduhan pada Bunda Dorce yang masih dianggap sebagai laki-laki atau sebagai waria merupakan tuduhan yang salah alamat.

Bunda Dorce sudah menjadi seorang perempuan, dimulai dari sisi psikologis, kemudian sisi biologis dengan operasi ganti kelamin, kemudian secara legal melalui pergantian identitas administrasi kependudukan, hingga pengakuan sosial.

Andai saja Bunda Dorce masih sebagai seorang waria, seorang transjender, seorang “mukhannats”, maka memang ada ulama yang mengatakan, seorang waria yang meninggal harus diurus sebagai laki-laki, karena jenis kelamin biologisnya masih laki-laki.

Tapi Bunda Dorce sekali lagi bukan waria, dia sudah menjadi wanita.

Jadi kalau ada yang menganggap Bunda Droce masih seorang waria, maka jelas sekali “tashawwur”nya ngawur, identifikasi masalahnya cacat, karena itu, mereka pun mengambil kesimpulan yang ngawur pula. Mereka memberikan penilaian yang cacat secara logika.

Makanya saya bingung kalau ada yang ngaku ustadz atau tokoh agama masih keukeuh mau mengurus jenazah Bunda Dorce sebagai pria.

Mereka keluarga Bunda Dorce juga bukan, mereka juga tidak mengerti persoalan yang sesungguhnya.

Coba saja tanya pada ustadz-ustadz itu, apa mau memandikan jenazah seseorang yang beda jenis kelamin dengan mereka?
Apa mau mereka memandikan jenazah seorang perempuan?

Lantas bagaimana hukum laki-laki yang memegang atau melihat aurat perempuan yang bukan mahram atau tanpa ikatan yang sah? Jelas sekali haram!

Pernyataan saya ini bukan cuma buat bela Bunda Dorce saja, karena saya yakin ada orang-orang lain yang seperti Bunda Dorce.

Ini soal kemanusiaan dan soal kesetaraan kemanusiaan. Tidak boleh ada diskriminasi pada orang, terlepas apapun agama, suku, budaya dan identitas jendernya.

Meskipun saya pernah kecewa berat pada Bunda Dorce yang pernah mendatangi pemakaman teroris Imam Samudera pada tahun 2008 dan mengatakan “saya yakin dia pergi ke surga”.

Ya Allah Bunda, Bunda…

Sikap ini tidak berempati pada korban terorisme, dan menyakitkan apalagi sampai membawa-bawa surga yang merupakan hak kuasa Allah Swt semata.

Apalagi sudah ada kesepakatan ulama bahwa terorisme itu diharamkan dan dilarang dalam Islam. Dan terorisme dalam hukum negara merupakan kejahatan luar biasa dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Karena itu jangan pernah menunjukan simpati pada pelaku terorisme.

Meskipun pernah kecewa berat, tapi itu bukan alasan bagi saya untuk tidak membela Bunda Dorce dalam isu ini, karena saya anggap hal ini bagian dari keadilan.

Keadilan untuk Bunda Dorce dan keadilan bagi prinsip kemanusiaan.

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ
لِلتَّقْوٰىۖ

Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa (Al-Ma’idah ayat 8).

Bunda Dorce adalah seorang perempuan. Bunda Dorce adalah seorang muslimah.
Keperempuanan Bunda Dorce sudah diakui oleh bangsa, negara dan agama.

Mari kita kirim Fatihah ke Bunda Dorce dan Gus Dur. Lahuma Al-Fatihah…