Kasus KM 50 yang dikenal dengan tewasnya 6 Laskar FPI karena melawan petugas polisi dengan senjata api dan senjata tajam.

Namun sayangnya 2 petugas polisi yang melawan keganasan Laskar FPI itu, kini didakwa. Padahal Ipda Muhammad Yusmin dan Briptu Fikri Ramadhan sedang menjalankan tugas negara yang resikonya hidup atau mati.

Harusnya 2 petugas polisi itu diberi penghargaan dan tanda jasa, bukan malah didakwa. Karena bagi saya, peristiwa KM 50 merupakan titik krusial bagi organisasi FPI, yang sebelumnya hampir tidak tersentuh FPI sebagai “kejahatan organisasi”.

Dan dalam kesempatan ini saya tidak ingin membahas kasus KM 50 dari soal hukum, karena persidangan masih berjalan, dan kita juga telah menyaksikan fakta-fakta persidangan bagaimana Laskar FPI yang melakukan penyerangan terlebih dahulu kepada petugas baik dengan senjata api dan senjata tajam, saya akan membahas KM 50 sebagai titik awal kehancuran FPI di Indonesia.

Sebelum peristiwa KM 50, kejahatan FPI sebagai “organisasi kriminal” hampir tidak pernah tersentuh. Meskipun sudah tak terhitung aksi-aksi kejahatan yang dilakukan oleh FPI sebelumnya. Pola pikir yang dipakai sebelum itu, kalau ada aksi kekerasan yang melibatkan FPI: “tangkap orangnya, jebloskan ke penjara, jangan bubarkan organisasinya, karena yang salah orangnya bukan organisasinya, pembubaran organisasi juga bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul bla bla..”

Pandangan yang naif, yang menyimpan kebodohan.

Karena faktanya kejahatan yang dilakukan oleh FPI bukanlah kejahatan individual, tapi kejahatan gerombolan. Kejahatan FPI bukan seperti kejahatan maling ayam, atau pencopet yang beroperasi sendiri atau hanya 2-3 orang saja, tanpa organisasi. Kejahatan FPI mencerminkan aksi massal, dan organisasi kriminal (al-tandzim al-jina’i) sehingga sejak lama, seperti Gus Dur sendiri menyerukan pembubaran FPI.

Sejak lahirnya, FPI merupakan praktik buruk dari politisasi agama, dalam hal ini politisasi simbol-simbol Islam yang menyusup sebagai penumpang gelap dari gerakan reformasi.

Lumrah saja, pada era Orde Baru, kebebasan ditutup. Era Reformasi, kebebasan dibuka seluas-luasnya, tapi kebablasan. Seperti halnya jendela yang sebelumnya ditutup rapat-rapat kemudian dibuka lebar-lebar yang masuk tidak hanya udara segar dan aroma alam sekitar tapi juga bisa masuk, lalat, nyamuk, tikus dan virus.

Demikian pula jendela di era reformasi itu dibuka yang masuk tidak hanya soal suara-suara tuntutan reformasi dan mahasiswa, perbaikan ekonomi, politik dan sosial, tapi juga masuk politisasi agama, gerakan intoleran, radikal dan terorisme.

FPI yang lahir pada tahun 1998, melawan kelompok pro demokrasi dan mahasiswa, FPI sebagai benteng kekuasaan pro status quo yang mengunakan simbol-simbol Islam sebagai tameng sekaligus peluru untuk menyerang pihak-pihak yang disebut lawannya.

Selama 22 tahun, FPI dibiarkan meraja-lela. Karena ada kepentingan-kepentingan busuk yang memanfaatkan adanya FPI. Politisi korup yang ingin berlindung di balik kedok agama, atau oknum-oknum aparat pemerintahan yang ingin menghajar lawannya dengan menggunakan dan memanfaatkan simbol agama, maka dipakailah FPI. Sehingga pernah ribut ada bocoran dari wikileaks yang menyebut FPI sebagai “attack dog” anjing penyerang.

Sebagaimana anjing yang selalu loyal dan setia pada tuannya, maka, tergantung siapa tuan yang memanfaatkannya.

Dalam perjalanannya, FPI dalam menjalankan aksinya merasa di atas hukum dan undang-undang. Melakukan “penyapuan” (sweeping) secara sewenang-wenang dan merasa sebagai penegak hukum yang berwenang. Tak ubahnya, FPI sebagai organisasi preman.

Sehingga Buya Syafii Maarif pernah menyebut FPI sebagai kelompok “preman berjubah”. Jubah adalah atribut politisasi simbol yang disebut keagamaan untuk membedakannya dengan kelompok preman yang lain.

Gus Dur sendiri, pernah menyebut FPI sebagai “organisasi bajingan”, karena Gus Dur sering menjadi sasaran FPI, yang tak lebih sebagai orderan dari pihak lawan Gus Dur.

Sebagai Presiden Indonesia meski hanya 2 tahun, Gus Dur memiliki komitmen dan warisan yang luar biasa bagi terwujudnya Indonesia untuk Semua. Tanpa Diskriminasi terhadap agama, suku dan keberagaman yang ada. Gus Dur juga punya ketegasan dalam melawan gerakan garis keras dan politisasi agama yang salah satunya terwujud dalam FPI.

Karena itu, Gus Dur sejak awal, sudah punya tuntutan tegas, membubarkan FPI karena tidak hanya berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara tapi juga mengotori citra Islam sebagai agama yang damai dan anti kekerasan.

FPI sudah identik dengan organisasi kekerasan, Ketua Umumnya saja, yang kemudian disebut sebagai Imam Besar FPI, Rizieq, setiap ganti presiden, selalu masuk penjara.

Pada tahun 2003, Rizieq masuk penjara, divonis 7 bulan, setelah drama pergi ke Iraq dulu. Itu terjadi pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Pada era Presiden SBY, Rizieq kembali masuk penjara, pada tahun 2008, bersama Munarman dan tokoh-tokoh FPI lainnya, karena terbukti dalam aksi kekerasan terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang memperingati 1 Juni 2008 sebagai Hari Lahir Pancasila.

Saya juga sebagai penyintas dalam peristiwa itu, saya masuk rumah sakit selama 4 hari, karena tak disangka, kami yang baru saja selesai menyanyikan Indonesia Raya, diserang oleh gerombolan FPI dengan memakai bambu dan tongkat kayu.

Wajah saya waktu itu dijahit, juga hidung saya. Penuh perban. Gus Dur waktu itu dagang menjenguk. Banyak korban yang jatuh dan masuk rumah sakit.

Foto saya saat di rumah sakit juga sering disebarkan oleh gerombolan FPI untuk membully saya, namun saya selalu bilang, hidung saya ini bisa memasukkan Rizieq dan Munarman ke penjara.

Tapi saya tidak ada dendam pada mereka. Seandainya mereka mau berobat dari aksi-aksi kekerasan. Tapi yang terjadi mereka malah semakin menjadi-jadi. Perlawanan terhadap FPI harus tetap dikobarkan. Karena tidak boleh ada korban lagi yang jatuh.

Tapi pada tahun 2013 Laskar FPI menabrak mati seorang ibu bernama Tri Munarti di Kendal, hingga almarhumah yang merupakan guru SD meninggalkan suami dan anak, serta juga menabrak seorang ibu hamil.

Meski sudah 2 kali masuk penjara, Rizieq tidak pernah bertobat. Malah semakin menjadi-jadi. FPI menjadi organisasi pengkaderan bagi jaringan kekerasan. Di sinilah bahayanya. Anak-anak muda, dan orang-orang polos yang awal soal politisasi agama, menjadi korban karena direkrut oleh FPI sebagai pelaku teror.

Relasi FPI dengan organisasi teroris juga tak terbantahkan. Gus Dur dulu bilang FPI adalah “organisasi teroris lokal”.

Pada tahun 2014 dan 2015, FPI juga aktif mendukung berdirinya ISIS di Indonesia. Baik melalui Maklumat FPI tentang ISIS, dan ceramah-ceramah Rizieq sendiri yang mendukung ISIS. Juga baiat Munarman terhadap ISIS yang kini sedang dibuka di Pengadilan.

FPI dan tokoh-tokohnya juga aktif menyebarkan seruan kebencian pada yang berbeda agama misalnya pada Gubernur DKI saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang sebenarnya merupakan agenda politik. FPI menggunakan doktrin Islam, dan memanfaatkan simbol Islam sebagai senjata politik untuk menghajar lawan-lawan politiknya.

Demo berjilid-jilid, mulai yang disebut 411, 212 dll tak lebih sebagai upaya kebencian politik yang dilumuri dengan politisasi agama.

Yang paling fatal adalah FPI sudah memasukkan “Khilafah Islamiyah” sebagai Visi dan Misi FPI dalam AD/ARTnya. Hal ini semakin terbongkar saat tahun 2019 FPI ingin memperpanjang izin organisasinya oleh Mendagri Pak Tito Karnavian.

Rizieq juga kabur ke Saudi, setelah ditetapkan kasus chat mesum. Dari Makkah pun Rizieq terus menyerang Pemerintah dengan menyebut terpilih Jokowi sebagai “Presiden Ilegal”. Rizieq tak henti-henti mengobarkan kebencian dan permusuhan.

Saat kembali, Rizieq dan gerombolan FPI terus mengangkangi negara ini. Membuat konvoi di tengah covid yang semakin naik, menyebarkan kebencian dan makian dari ceramah. Hingga melawan aparat penegak hukum.

Meskipun FPI sudah melakukan kejahatan secara massal dan secara organisasi, tapi tidak pernah tersentuh kejahatan sebagai organisasinya. Bahkan FPI semakin sombong dan sewenang-wenang.

Puncaknya adalah kasus KM 50 tanggal 7 Desember 2020. Laskar FPI melawan petugas polisi dengan senjata api dan senjata tajam. Mata publik dan negara mulai terbuka. Bahwa FPI tidak bisa dilihat lagi sebagai kejahatan personal atau oknum saja, tapi seperti halnya Mafia dan organisasi kejahatan dan juga organisasi teroris yang harus dilawan hingga ke organisasinya.

Saya sebut kasus KM 50 sebagai awal kehancuran FPI yang terjadi pada tanggal 7 Desember 2020 karena beberapa hari setelahnya yakni pada tanggal 30 Desember 2020 secara resmi FPI dibubarkan.

Kalau bukan karena kasus KM 50, di mana Laskar FPI melawan polisi dengan senjata api dan senjata tajam, mungkin kehancuran FPI tidak akan pernah terjadi. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya meskipun FPI sudah terbukti terlibat dengan banyak kejahatan.

Karena itu, sangat ironis petugas polisi yang saat itu melawan FPI dalam kasus KM 50 justeru didakwa dengan pembunuhan. Padahal hingga saat ini, kita masih terus dikejutkan dengan bukti-bukti dan kesaksian keterlibatan FPI dengan jaringan terorisme.

Harusnya 2 polisi yang melawan FPI diberi penghargaan bukan malah dijatuhkan hukuman. Melawan organisasi yang kemudian dilarang dan dibubarkan kok malah mau dipidanakan.

Karena itu, Bebaskan Ipda Muhammad Yusmin dan Briptu Fikri Ramadhan.