Mengapa Koalisi Anies Gagal Deklarasi Pencapresan?
Sedianya koalisi yang mengusung pencapresan Anies Baswedan, dideklarasikan pada tanggal 10 November. Katanya koalisi itu antara NasDem, PKS dan Demokrat. Ternyata deklarasi pencapresan Anies gagal. Mengapa?
Mengklaim akan membentuk koalisi yang menyebut dirinya “Koalisi Perubahan” Anies Baswedan gagal melakukan deklarasi pada tanggal 10 November.
Padahal konon, sudah ada 3 parpol yang mau bergabung: NasDem, PKS dan Demokrat.
Namun klaim itu ibarat isapan jempol. Seperti halnya info soal daging sapi atau ayam yang disebut Anies di depan Gymastiar (Aa Gym) soal isi bantuan Pemprov DKI di zaman dia waktu pandemi Covid.
Tega-teganya di tengah pandemi, Anies B
bikin hoax dan PHP warganya, bahwa Pemprov DKI membagikan bantuan daging sapi dan daging ayam ke warganya.
Ternyata: “Koalisi Perubahan” layu sebelum berkembang. Membusuk sebelum matang.
Mengapa deklarasi Pencapresan Anies gagal dilakukan oleh 3 parpol itu?
Menurut saya, ada banyak penyebabnya.
Pertama, Anies lebih terlihat sebagai jurkam parpol Nadem daripada seorang capres.
Kemana-mana, Anies mempromosikan NasDem. Dia terlihat sebagai juru kampanye NasDem daripada seorang capres.
Parpol-parpol lain yang mau dukung Anies tentu akan bertanya-tanya: buat apa dukung Pencapresan Anies tapi yang dapat untung dan dapat manfaat cuma Partai NasDem?
Pencapresan Anies secara sepihak oleh NasDem sebenarnya bisa dilihat sebagai “offside” dalam politik, kalau benar mau koalisi tapi mengapa sebelumnya melakukan langkah sepihak?
Bagi yang waras pun, langkah Surya Paloh bisa dilihat sebagai bentuk penguasaan dan politik posesif terhadap Anies Baswedan.
Apalagi sekarang Anies lebih terlihat sebagai jurkam NasDem kemana-mana.
Bisa jadi yang ada dalam pikiran elit-elit parpol PKS dan Demokrat, saat ditanya “pengen dukung Anies?”.
“Yaa kepengen tapi yg jadi masalah, untung di NasDem, buntung di kami.”
Alih-alih menemukan jalan lapang melalui dukungan NasDem, Anies malah berhadapan dengan jalan buntu dalam koalisi.
Kedua, tidak ada deal soal cawapres yg akan mendampingi Anies. Demokrat bersikeras menyodorkan AHY. PKS mati-matian mengajukan Aher. Tidak ada sepakat.
Bagaimana PKS mau melepaskan posisi Cawapres padahal mereka merasa suara perolehan pada Pemilu 2019, PKS lebih tinggi dari Demokrat.
PKS dapat 8,21 persen. Demokrat dapat 7,7 persen.
Demokrat hanya modal survei AHY. Padahal hasil survei tidak bisa dijamin.
Buktinya di Pilkada DKI tahun 2017, AHY di nomor paling buncit, padahal merajai survei-survei waktu itu.
Kecuali posisi cawapres seperti tiket yg ada harganya. Kalau deal soal harga, tiket itu bisa diberikan ke pihak lain. Parpol ibarat calo tiket.
Percaloan politik memang bukan hal yang asing. Bisa saja terjadi.
Pihak Nasdem sebenarnya menawarkan bahwa deklasi koalisi ini sepakati dulu capresnya, yakni Anies, nanti baru dibahas lagi soal cawapres, tapi tampaknya pihak PKS dan Demokrat tidak mau “dikadalin” lagi oleh NasDem: Deklasi harus sepaket Capres dan Cawapres, yg mana cawapresnya diambil dari tokoh parpol-parpol itu.
Buntu. Mentok. Semua bersikeras dengan keinginan masing-masing. Deklarasi koalisi pencapresan Anies gagal total.
Ketiga. Protes keras dari pemilih NasDem, karena elit parpolnya secara sepihak dan tiba-tiba mencapreskan Anies.
Mau diakui atau tidak, pemilih NasDem adalah pemilih setia Pak Jokowi. Kalau di Jakarta, pemilih Ahok.
Kok tiba-tiba mencapreskan Anies yg identik dengan permainan politik identitas, politik Ayat dan mayat, teman akrab Rizieq dan FPI.
Pemilih Nasdem adalah pemilih yg cerdas. Bukan kawanan bebek-bebek yang bisa diatur ke sana ke mari untuk mengikuti kemauan elit parpolnya.
Pemilu NasDem bukan robot-robot mesin. Yang bisa diatur: 2017 dukung Ahok, anti Anies, 2019 dukung Jokowi, terus mau disetel tiba-tiba 2024 dukung Anies, anti Jokowi.
Ini hanya bisa terjadi pada robot-robot politik.
Keempat, kelompok yang suka Anies tidak akan memilih NasDem. Karena itu beberapa survei membuktikan, suara NasDem melorot setelah Pencapresan Anies.
Nadem malah kehilangan pemilih loyalnya, khususnya di Indonesia bagian Timur.
Harapannya sebelumnya, elit NasDem menduga, boleh saja NasDem kehilangan pemilih loyal di Indonesia bagian Timur tapi akan dapat pemilih Anies seperti di Jakarta dan Jawa Barat.
Tapi ternyata tidak. Mereka yang suka Anies lebih memilih PKS atau Demokrat.
Pemilih capres dan pemilih parpol memang tidak selalu berbanding lurus seperti rel kereta api.
Karena seperti yang saya sudah bilang, kita berhadapan dengan pemilih-pemilih yang cerdas, bukan kawan bebek-bebek yang bisa digiring ke kanan dan ke kiri, atau robot-robot politik yang bisa distel pilih capresnya ini dan parpolnya ini juga.
Yang tak pernah disadari, Pencapresan Anies secara sepihak oleh elit NasDem seperti kawin paksa, yang tidak membahagiakan pemilih NasDem.
Namanya kawin paksa tujuannya bukan kecocokan dan kebahagiaan, tapi ada kepentingan-kepentingan lain, seperti kepentingan ekonomi, keuntungan sepihak yang hanya bisa dinikmati oleh elit-elitnya saja.
NasDem dan Anies, ibarat oli dan semen yang digabungkan. Bagaimana mungkin bisa membangun koalisi yang kokoh kalau bahan dasarnya oli dan semen?
Kelima sebab deklarasi Pencapresan gagal oleh koalisi Anies karena menurut Fahri Hamxah, Bandar atau Bohirnya belum sepakat. Siapakah Bandarnya? Bandar apa? Silakan tanya ke Fahri Hamzah…
Karena Bandar, pencapresan Anies gagal…
Mohamad Guntur Romli
Tags In
Terkini
- Tiga Langkah Jenius Megawati Saat Pencapresan Ganjar Pranowo
- Memilih Ganjar Pranowo, Meneruskan Jokowi Membangun Indonesia
- Ayat Al-Quran yang Sering Dipakai oleh Teroris
- Mengapa Koalisi Anies Gagal Deklarasi Pencapresan?
- Halloween: Saudi Kebarat-baratan, Indonesia Kearab-araban
- Tahun 2024, Mereka Ingin Khilafah Berdiri di Indonesia
Categories
- Berita (110)
- Santuy (5)
- Siaran Pers (31)
- Tulisan (181)
- Video Cokro TV (15)


