Syahadat Cinta Rabi’ah Al-‘Adawiyah (2011)
Apakah sosok Râbi’ah al-‘Adawiyah benar-benar ada atau hanya rekaan semata? Benarkah ia pernah menjadi penghibur sebelum dikenal sebagai tokoh sufi? Apakah karâmah Râbi’ah terletak pada kemampuan supranaturalnya yang konon bisa terbang di udara, menampik Malaikat Munkar-Nakir yang ingin mengajukan pertanyaan di kuburnya, atau karena ajarannya yang digairahkan oleh cinta?
Buku ini melacak sosok Râbi’ah langsung dari kitab-kitab klasik mulai karya al-Jâhidh (w. 255 H) dan “kitab kanon” tasawuf yang dikarang oleh al-Sarrâj al-Thûsî (w. 378 H), al-Kalâbadzî (w. 380 H), Abu Thâlib al-Makkî (w. 386 H), al-Sulamî (w. 412), al-Hujwîrî (w. 465 H), al-Qusyairî (w. 465 H) dan Ibn al-Jawzî (w. 597 H). Sayangnya, nama Râbi’ah dihapus dari peringkat tokoh-tokoh sufi dalam “kitab kanon” tasawuf tersebut yang isinya hanya deretan nama laki-laki. Al-Aththâr (w. 627 H) yang meletakkan kembali nama Râbi’ah dalam jajaran tokoh sufi laki-laki. Buku ini juga menelusuri konteks hidup Râbi’ah: kota Bashrah yang melahirkan tasawuf sebagai elan revolusi spiritual yang membentuk aliran “tasawuf romantik”. Aliran ini dipengaruhi oleh “romantisme Arab” melalui genre sastra ghazal, asketisme kekristenan dalam tradisi kerahiban, dan corak feminin ajaran para perempuan sufi yang mendahului Râbi’ah.
Dan seluruh penelusuran tadi bermuara pada lautan “Syahadat Cinta” Râbi’ah. Syahadat Râbi’ah bukan [lagi] “Tiada Tuhan Selain Allah” tapi “Aku Cinta Kamu, Allah”. Râbi’ah telah membangun sebuah relasi “baru” dalam agama dari penghambaan (‘ibâdah) menjadi percintaan (mahabbah). Manusia tak lagi memandang Tuhan dengan penuh ketakutan dan pamrih, namun suatu relasi intim antar-kekasih yang dipenuhi keakraban, kehangatan dan kerinduan.
Melalui buku ini, Râbi’ah mengajarkan kepada kita untuk beragama dengan hati dan cinta. Ia keluar dari paradigma pahala dan siksa yang membuat umat beragama terjebak dengan berbagai kepentingan dalam beribadah. Religiusitas Râbi’ah telah menembus sekat-sekat jender yang menjadikan kaum lelaki sebagai figur dominan dalam dunia tasawuf. Buku ini menunjukkan bahwa tasawuf bukan semata-mata milik kaum lelaki, tetapi milik setiap orang yang mampu mengasah ketajaman spiritual, meskipun ia berjenis kelamin perempuan. Sebuah pengembaraan jiwa yang mampu mendobrak sikap beragama yang egois dan angkuh.
Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Yayasan Puan Amal Hayati
Bicara tentang Râbi’ah al-‘Adawiyah, apa pun versinya adalah bicara tentang Cinta. Di saat kebencian mulai mengotori pergaulan, maka tepat sekali bila Mohamad Guntur Romli mengangkat kembali “Syahadat Cinta” perempuan suci ini.
KH A. Mustofa Bisri, Wakil Rais Aam Syuriah PBNU
Beragamalah karena cinta, itulah pesan utama Râbi’ah al-‘Adawiyah. Pesan ini adalah kritik tajam terhadap kehidupan beragama di Indonesia yang kini penuh ironi: acara dan ritual keagamaan sangat marak, tetapi korupsi dan kekerasan juga “juara”. Ironi terjadi karena agama tidak didasarkan pada cinta tapi pada pamrih. Karena jeratan pamrih, orang beragama terikat dengan kepentingan dan perhitungan bukan ketulusan. Padahal hanya dengan cinta, seseorang akan mampu melepaskan diri dari perangkap kepentingan itu, dan melalui cinta pula agama akan memperoleh bentuk esensialnya.
Ayub Yahya, Pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI)